25. Bimbang

3.8K 349 22
                                    

Hallow?
Jan lupa komen😚
*
*
*

"Hallo pa" Aira benar - benar menelfon papa nya. Perasannya masih tidak enak.

Terdengar grasak grusuk dari seberang.

"Ya, Aira anak papa. Ada apa" ucap papanya dengan intonasi suara yang senang. Seorang Annansya Aira menelfonnya. Itu adalah hal yang jarang sekali terjadi.

"Papa baik - baik aja kan?" Aira langsung to the point. Karena jujur, dirinya merasa sangat canggung jika ngobrol lewat telepon seperti ini dengan papanya.

"Alhamdulillah papa baik sayang. Kamu gimana kabarnya" balas tanya papanya.

"Aira baik" jeda sekian detik, "Yaudah ya pa, Aira matiin telepon nya. Masih banyak kegiatan" bohong. Aira berbohong tentang banyak kegiatan. Nyatanya sekarang ini semuanya sedang bersantai karena baru selesai mengaji.

"Yah, padahal papa masih mau ngobrol banyak sama anak papa satu ini. Tapi yasudah tidak papa"

Aira agak sedikit tak tega mendengar penuturan papa nya. Tapi mau bagaimana lagi. Dirinya bingung harus mencari topik pembicaraan apa lagi.

"Oh iya nak, minggu depan InsyaAllah papa ke pesantren ya"

"Eh, gausah pa. Mau ngapain?" tidak biasanya papa nya ke pesantren. Jika memang Aira kehabisan uang pun akan di transfer dengan papa nya.

"Mau jengukin anak papa dong. Yasudah ya sayang. Papa lagi di kantor. Assalamualaikum"

Sambungan telfon terputus membuat Aira terdiam. Perasaannya semakin tidak enak ketika tau kalau papa nya akan datang minggu depan.

****
"Gimana mba? Udah nelpon papa nya?" tanya Diana kepo.

Aira mengangguk sebagai jawaban.

"Terus gimana?"

"Gak gimana - mana. Bokap baik. Dan yang bikin gue sebel setengah mampus adalah bokap mau kesini minggu depan"

"Kok sebel sih mba? Enak lah banyak makanan nanti" Aira memandang Diana dengan tatapan menusuk. Enak saja banyak makanan. Diana kira papanya itu mamaknya yang akan membawakan banyak makanan apa?

Lagi pun, Aira yakin kalau tadi papanya hanya basa basi berbicara kalau akan menjenguk nya.

"Semoga perasaan gak enak ini bukan pertanda buruk"

****
"Fahmi, kemaren Abah baru dikunjungi sama kyai Ahmad" ucap Abah yang masih duduk di sofa sambil memegang dan membaca sebuah kitab, sedangkan Fahmi sedang memijat kaki Abahnya.

"Lalu Bah?"

"Ahmad membicarakan tentang perjodohan antara kamu dan Mia" dada Fahmi mulai berdetak cepat. Entah apa, Fahmi tidak menyukai topik pembicaraan kali ini. "Kamu mau kan, menikah dengan Mia?"

Diberi pertanyaan seperti itu membuat pergerakan tangan Fahmi yang sedang memijat kaki Abahnya terhenti. Ada rasa bingung dan bimbang saat akan memberi jawaban. Memang, perjodohan ini sudah terjadi sejak umur Fahmi masih berusia 10 tahun. Dari situ terkadang neng Mia akan berkunjung setidaknya satu bulan dua kali di pesantren milik Abahnya. Fahmi pun lambat laun menyukai neng Mia. Hanya saja untuk saat ini, kenapa malah muka Aira yang terlintas di benaknya?

Lama diam, akhirnya Fahmi menjawab, "InsyaAllah Fahmi mau Bah" tidak ada alasan kuat untuk Fahmi menolak neng Mia. Ya, meskipun tidak dapat dipungkiri hatinya berkata untuk menjawab 'Tidak'.

"Alhamdulillah, kalau gitu nanti kita bicarakan lagi tentang khitbah dan akad"

"Njeh Bah"

Tanpa sepengetahuan mereka, ada orang lain yang mendengar pembicaraan itu, dan orang itu memasang raut kesal. Terutama kepada Fahmi.

Menggapai Cinta Sang Gus [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang