Bulan berlari sekuat tenaga, uap panas mengepul keluar di setiap tarikan napasnya yang terengah. Gadis itu pada dasarnya seorang akademisi sejati dan bukannya atlet, karena itu hanya dalam beberapa kayuhan saja, dadanya serasa terbakar. Kakinya seperti berteriak minta agar dia berhenti berlari. Tapi Bulan bisa mendengar gemerisik di belakangnya, juga di balik pepohonan di sebelah kiri lalu kanan, membayangi derap langkah Bulan, menunggunya lengah. Daun pohon-pohon oak berumur ratusan tahun berguguran menjelang musim dingin di sekelilingnya, meninggalkan lautan berwarna kuning. Pemandangan syahdu itu sama sekali bertolak-belakang dengan kengerian yang kini tengah ia rasakan.
Batang ranting patah terdengar di sisi kanan, sedikit lebih jauh lagi di balik hutan. Hari itu ada di tengah-tengah musim gugur, yang berarti matahari akan tenggelam lebih cepat. Sebentar lagi gelap malam akan menyambutnya, kabut tipis perlahan melayang turun. Hanya menunggu waktu saja sampai Bulan mencapai akhir daya dan tertangkap oleh para pengejarnya.
Mereka bergerak seperti kawanan, silih berganti mengikuti Bulan. Entah apa yang menyebabkan mereka tak segera menangkap gadis itu. Bulan tahu kalau larinya tak seberapa cepat, dan kini seolah-olah mereka hanya bermain-main saja. Menghibur diri mereka sendiri dengan permainan yang berjudul 'mengejar Bulan'. Gadis itu bisa mendengar tawa terkikik laki-laki juga napas berat dari arah belakang yang sanggup membuat bulu kuduknya merinding.
Ketika nyaris sampai di ujung deretan pepohonan yang makin jarang, Bulan berharap bisa melihat perkampungan atau manusia atau apapun yang bisa membantunya menyelamatkan diri dari kejaran mereka. Harapannya pupus sudah ketika hampir sampai di ujung lembah hanya untuk mendapati bahwa tebing terjal memisahkan bukit itu dengan dataran berbatu di bawah yang tingginya puluhan meter.
Kalau ia jatuh, meski jiwanya selamat, maka sudah bisa dipastikan tulang-tulangnya bakalan remuk, ambyar.
"Sudah capek larinya?" bisik gema suara berat laki-laki di sisi kiri Bulan, di balik sela rimbun pepohonan yang memisahkannya dengan para pengejar. "Kita bisa lakukan ini semalaman, Mungil," lanjutnya lagi. Nadanya mencemooh. Seolah upaya Bulan untuk melarikan diri dari mereka hanya akan berakhir dalam kesia-siaan.
"Ayolah gadis kecil, berhenti melarikan diri dari kami. Aku kelaparan..." geram suara lain yang sama beratnya dari sisi kanan Bulan, disambut tawa terkikik yang terdengar hanya beberapa meter dari belakang. Gadis itu tak mampu menoleh memastikan, takut kehilangan keseimbangan. Ada berapa jumlah mereka? Bertiga? Berempat? Bulan tak mampu lagi membedakan suara-suara maupun langkah kaki berderap di sekelilingnya.
Ia berpikir cepat dan berbelok ke kiri, berharap ada peluang untuk meloloskan diri. Lagi-lagi gemerisik penguntitnya tak langsung menyergap Bulan, melainkan menjajarinya, menyamakan Langkah mereka di belakang dan sisi kiri, sementara tebing terjal menggandeng Bulan di sisi kanan. Tubuh lelahnya berontak ingin menyerah, tapi Bulan menguatkan diri, sedikit lagi, sedikit lagi. Dalaman sweater rajutnya kini kuyup oleh keringat.
Setelah beberapa lama, Bulan akhirnya menyadari kalau kawanan pengejar itu hanya ingin membodoh-bodohi dirinya saja. Gadis itu tahu mereka bisa berlari jauh lebih cepat dari ini kalau mereka mau, menangkapnya semudah menjaring ikan koi di dalam kolam dangkal. Ketika mendapati bahwa bukit di depannya lagi-lagi berujung tebing, Bulan mendapati kalau mereka telah menggiringnya masuk ke dalam perangkap. Tidak ada lagi lajur untuk kabur. Seretan kakinya terpaksa terhenti di pinggir jurang, tubuhnya berayun pelan sementara udara dingin menusuk kini menembus pakaiannya.
Langkah kaki Bulan terhenti, matanya terpejam, gadis itu jatuh berlutut. Lelah, aku lelah, sudah cukup, jeritnya dalam hati.
Tawa di sekelilingnya berlipat ganda, semakin jelas terdengar pertanda bahwa mereka kini ada di dekatnya. Bulan menggertakkan giginya, perlahan berdiri meskipun sempoyongan karena lututnya yang masih gemetar. Setelah yakin bahwa dirinya tak akan ambruk, Bulan berbalik, memberanikan diri menghadapi takdir yang sudah menunggui.
Tepat di hadapannya, sesosok tinggi tegap keluar dari balik kabut. Makhluk itu bertubuh tinggi, berambut merah menyala seperti api. Matanya berkilat, memantulkan warna rambutnya yang menyala terang. Ketika menyeringai, Bulan melihat lidahnya menyusuri taringnya yang tajam.
Dari sudut matanya, Bulan melihat dua orang monster yang sama tegapnya, berdada bidang berjalan keluar dari persembunyian mereka. "Ck ck ck... lihat warna kulitnya, begitu eksotis kelinci kecil kita yang satu ini," kata salah seorang di antara mereka. Suaranya seperti beledu dingin, membelai telinga Bulan, membuat gadis itu bergidik ngeri.
"Langsat kecokelatan. Kesukaanku," tambah sosok disebelah kanan Bulan, membuatnya bertambah waspada. "Membuat aku penasaran saja, apakah rasanya juga semanis itu?" Wajah mereka, Bulan menyadari terlihat seperti bayangan kembar di cermin. Warna mata yang identik, wajah yang serupa, tapi hanya model rambut mereka yang berbeda. Si penyuka cokelat berambut cepak, sementara kembarannya memiliki rambut panjang sebahu, cokelat keemasan.
"Tak peduli apapun warna mereka, lubang yang hangat dan basah rasanya sama saja. Aku tak akan protes," ujar seseorang dari belakang, mengagetkan Bulan karena sama sekali tak merasakan kehadirannya sebelumnya. Napasnya membelai pipi Bulan ketika gadis itu menoleh. Refleks Bulan berlari menjauh darinya ke tengah, hanya untuk dikurung oleh empat sosok monster yang ukurannya jauh lebih besar, lebih kuat dan cepat dari gadis itu. Mereka berdiri di empat penjuru, menutup setiap celah yang bisa dipakai oleh Bulan untuk melarikan diri.
"Jangan mendekat! Kalau nekad... aku... aku akan menyakiti kalian! Kalian akan kubuat menyesal!"
Saling menoleh tanpa suara, tawa terbahak akhirnya menggema di sekelilingnya, membuat pipi Bulan yang kemerahan karena hawa dingin kini semakin pias. Ia menatap satu per satu monster di hadapannya nyaris putus asa. Tiba-tiba sosok yang sejak tadi berdiri di atas bebatuan tinggi yang tak terdeteksi sebelumnya oleh Bulan meloncat turun, mendarat tepat di hadapan Bulan, berjongkok mencakung. Dadanya bidang, bahunya lebar, gadis itu mengamati perut lelaki itu yang tercetak kotak, menghilang di balik celana jeans robek yang dipakainya rendah di pinggang. Matanya hitam obsidian, rambutnya ikal pendek. Bibirnya tebal kemerahan, menyeringai kecil memperlihatkan taringnya yang mengilat.
"Uuududuu... kita akan dibuat menyesal katanya," kata monster itu jahat. Suaranya terdengar lembut dan dalam, sejenak membuai Bulan dalam ketenangan yang tak pantas. "Kita akan disakitinya...," goda makhluk itu. Matanya pekat dan jahat ketika bertemu lagi dengan Bulan, menuruni wajah, tubuhnya hingga ke ujung kaki lalu naik lagi ke atas.
"Takuuut," seloroh yang lain mencemooh, disambut lolongan kawanan itu.
Lelaki yang duduk mencakung di hadapan Bulan itu perlahan berdiri, membuat setiap jengkal tubuhnya terasa tinggi mengintimidasi. Dengan senang hati ia memberitahukan pada Bulan.
"Kabar buruk untukmu, Manisku. Kami ada berlima, dan kamu hanya seorang diri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Serigala
Werewolf[21+] Mereka bergerak seperti kawanan, silih berganti mengikuti Bulan. Entah apa yang menyebabkan mereka tak segera menangkap gadis itu. Bulan tahu kalau larinya tak seberapa cepat, dan kini seolah-olah mereka hanya bermain-main saja. Menghibur dir...