Hello, jangan lupa vote dan komen ya.....
Putar lagu yang aku letakin diatas, soalnya aku nulis sambil dengar lagu itu, hehe.***
"Aku ingin menjadi seperti tarian ini—bebas, tak terikat, namun tetap penuh arti."
***
"Kenapa diam?" tanyaku pada Oliver, yang kini memandangiku dengan sorot bingung, seolah tak yakin dengan siapa ia berbicara.
Oliver memiringkan kepalanya, tatapannya tajam seperti hendak menyelidiki hingga ke dasar jiwaku. Sejurus kemudian, ia mengembuskan napas panjang, lalu tiba-tiba saja tertawa. Tawanya meledak, menggema di sekitar danau yang tenang, bahkan ia sampai memukul perutnya sendiri seolah tak tahan menahan geli.
"Pfft... Lidya, aku rasa kau mulai kehilangan akal. Tunjukkan padaku tari kerajaan yang kau banggakan itu!" ujarnya sambil terkekeh.
Aku mendengus, merasa diremehkan. "Baiklah, perhatikan," jawabku dengan nada tegas.
Aku berjalan menuju pinggir danau yang memantulkan cahaya bulan dengan indah. Langkahku pelan, lembut, setiap gerakan seperti melukis udara. Aku menjinjitkan kaki, mengangkat satu tangan seolah mengundang seorang pangeran dalam kisah dongeng untuk menemaniku menari. Badanku kubungkukkan sedikit, memosisikan diri bak seorang putri kerajaan yang menguasai seni dansa.
"Pegang tanganku!" aku memerintah Oliver tanpa menunggu jawaban.
"Seharusnya aku yang menunduk, bukan kau!" katanya sambil terkekeh.
"Kalau begitu, ulangi!" balasku, menarik tubuhku mundur dan membenarkan posisi kami. Kini Oliver menundukkan kepalanya dengan hormat, meletakkan tangannya di tanganku, dan kami mulai berdansa. Gerakan klasik yang telah diajarkan sejak kecil kini mengalir tanpa cela. Langkah kaki kami menyatu dengan irama alam, namun bagiku, ada yang terasa hambar.
"Berhenti!" Aku tiba-tiba melepaskan diri dari genggamannya. "Membosankan. Kalau menari seperti ini terlalu mudah. Mau melihat sesuatu yang lebih mengesankan?" tantangku.
Oliver memandangku, matanya menyipit penuh tanda tanya. "Silakan. Aku tak tahu apa yang kau rencanakan, tapi aku penasaran."
Aku tersenyum penuh keyakinan, berjalan menjauh dari danau untuk memberi diriku ruang. Dengan posisi anggun, kutekuk kakiku sedikit, lalu mulai bergerak dengan lincah. Tanganku melengkung bebas, menari seperti angin yang menelusuri bukit. Setiap gerakanku bercerita—ada rasa kebebasan, ada pemberontakan. Sesekali aku berputar, melompat, dan saat cahaya bulan mengenai wajahku, aku merasakan sesuatu yang luar biasa. Seolah alam mengikutiku, mengangkat bebanku.
Ketika akhirnya aku berhenti, Oliver berdiri terpaku. Sorot matanya yang tajam kini melembut, seperti terpesona.
"Kau luar biasa," bisiknya. "Lihatlah, bahkan bulan malam ini bersinar lebih terang untukmu."
Aku membalasnya dengan senyum kecil, menikmati pujiannya. "Terima kasih," jawabku pelan.
Namun, Oliver tiba-tiba menarik tanganku, membawaku kembali ke lingkaran dansa. "Kau belum selesai. Menarilah denganku," ucapnya, kali ini suaranya lebih dalam, ada nada tulus di sana.
Aku menatapnya curiga. "Untuk apa? Bukankah kau ingin menari dengan Irish, kekasihmu?"
Ia tersenyum kecil, senyum yang sulit diterjemahkan. "Benar, tapi malam ini biarkan aku membayangkan dirimu adalah dia."
Aku terdiam, lalu mengangguk pelan. Kami kembali berdansa, kali ini gerakan kami lebih spontan. Aku tak lagi mengikuti aturan dansa kerajaan yang kaku, dan Oliver, meski terbiasa dengan formalitas, mengikuti langkahku dengan baik. Rasanya seperti menari di atas awan, ringan namun penuh emosi. Langit mulai gelap, dan cahaya bulan menjadi satu-satunya saksi malam itu.
Ketika akhirnya kami berhenti, aku duduk di rerumputan, menatap danau yang berkilauan. "Beruntung sekali gadis jalang itu," gumamku. "Dicintai oleh dua pangeran sekaligus, bahkan mereka rela berkorban demi dia."
Oliver yang sedang membetulkan sepatu botnya menoleh tajam. "Jangan sebut dia jalang. Dia tetap adik tirimu," katanya tegas.
Aku terkekeh pelan, lalu menatap langit. "Lihatlah betapa kau mencintainya. Sayangnya, cinta itu bertepuk sebelah tangan. Rasanya pasti menyakitkan, bukan?"
Oliver mendesah panjang. "Ya, kau benar. Tapi bukankah kita sama saja? Nasib kita serupa."
Aku menggeleng. "Tidak lagi. Aku tak lagi menaruh hati pada Averio. Pria itu tak pantas untukku."
Oliver mengangkat alisnya, terlihat skeptis. "Benarkah? Kalau begitu, pria seperti apa yang kau inginkan?"
"Pria yang bijaksana, yang tak hanya melihat kesalahan, tapi juga mencari alasan di baliknya," jawabku tanpa ragu.
Ia hanya mengedikkan bahu. "Menarik, tapi sulit dicari."
Aku mengalihkan pandangan ke danau lagi. "Namun, bisakah kau menjaga dirimu jika berada di dekat Irish? Jangan lagi merundungnya. Aku kasihan padanya," katanya tiba-tiba, suaranya penuh harapan.
Aku menghela napas. "Baiklah, demi kau. Tapi jangan berharap aku bisa menyukainya."
Oliver tersenyum puas, meski aku tahu ia tetap tak sepenuhnya percaya. Waktu semakin larut, dan akhirnya kami memutuskan untuk kembali. Dengan susah payah, Oliver membantuku kembali ke penjara melalui jendela kecil itu.
"Sampai jumpa, Lidya," ucapnya sebelum menghilang dalam bayang-bayang malam.
Aku duduk bersandar di tembok dingin, kelelahan. Namun, perasaanku bercampur aduk. Hari ini penuh dengan tawa, tarian, dan kenangan, tetapi mengapa hatiku terasa kosong? Air mata tiba-tiba mengalir tanpa izin.
"Ibu," bisikku, "tidak ada yang ingin mendengarkan kisahku..."
***
Terimakasih buat teman teman yang mau komentar dan gak lupa vote.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Main Princess✔️
FantasyDalilah terperangkap di tubuh kembarannya sendiri, sejak kematian dirinya beberapa hari yang lalu. Highest rank #2 | Pahlawan (13 February 2025) #13 | 2023 (13 February 2025) #22 | Jiwa (13 February 2025)