Seragam olahraga yang Lingka kenakan kini sudah basah oleh keringat, kalau bukan karena pengambilan nilai. Lingka mungkin malas mengikuti jam pelajaran ini. Olahraga menjadi satu-satunya mapel yang Lingka benci.
Lingka bodoh dalam olahraga. Gadis yang biasanya selalu unggul dalam akademik itu bisa tiba-tiba saja jadi perempuan tolol saat mapel olahraga. Selain Lingka menjadi bodoh karena sama sekali tidak paham juga fisiknya yang tidak mendukung, Lingka juga benci saat harus panas-panasan di lapangan. Kulit gadis itu otomatis akan memerah kemudian kepalanya yang mendadak pusing kalau terlalu lama terkena sinar matahari secara langsung.
Tapi, kini. Apa boleh buat. Lingka pasrah saat—Pak Danang—guru olahraga itu memerintahkannya berlari keliling lapangan. Tidak sendirian sih, ada beberapa teman Lingka juga yang ikut.
Lingka mendesah pelan. Lima kali ia harus berputar di lapangan yang bahkan luasnya seperempat stadion cangkring.
Suara pluit terdengar ketika langkah kaki Lingka bersama teman-temannya melambat, kemudian berganti dengan tempo lebih cepat. Ketika Lingka melewati kerumunan anak cowok yang berjejer jadi satu di pinggir lapangan, Lingka sempat melihat Samudera yang tersenyum dan mengangkat sebuah botol minuman dingin.
Seolah cowok itu tengah menyemangati Lingka, tapi Lingka malah bodoamat. Perempuan itu berpura-pura tak tau lantas melanjutkan langkah.
Kurang dua putaran lagi. Peluh terus menetes di pelipis juga leher Lingka. Rasa pusing tiba-tiba mulai menyerangnya saat mendekati tiang bendera. Kepalanya terasa dipukul benda tak kasat mata. Lingka memelankam larinya, membiarkan yang lain menyalip di depan sana.
Kedua mata Lingka mengerjap berusaha menormalkan pengelihatannya yang mulai berubah. Namun, semakin ia berusaha, kepalanya justru kian berdentam juga kumpulan warna yang mengunang membuat gadis itu kian pening.
Memaksakan diri kembali berlari namun, tiba-tiba gelap menghampiri diikuti suara sahut menyahut jeritan dan Lingka masih sedikit sadar saat tubuhnya terasa terangkat ke atas. Setelah itu lenyap.
****
Degub jantung milik Samudera memompa jauh lebih cepat dari biasanya. Di mana detik saat gadis bersurai panjang itu tiba-tiba ambruk di dekat tiang bendera. Reflek, Samudera langsung bangkit untuk pertama kali. Berlari menghampiri sosok Lingka diikuti teman-temannya yang lain.
Samudera mendudukkan dirinya, tangannya menepuk-nepuk pelan pipi Lingka. Menjadikan pahanya sebagai penopang tubuh gadis itu. Tapi, usahanya sama sekali tak berhasil. Sampai Pak Danang muncul membelah kerumunan siswa dan ikut berjongkok di depannya.
“Samudera bawa Lingka ke UKS.” Tanpa diminta pun sebenarnya Samudera akan dengan senang hati melakukannya. Cowok itu mengangguk, dalam sekali angkat tubuh kecil Lingka sudah berada di kedua tangannya.
Samudera menundukkan kepala, menatap Lingka yang ada digendongannya. Bibir gadis itu terlihat pucat, namun kedua pipi dan keningnya memerah.
Tak butuh waktu lama, sampai di depan pintu UKS, Samudera langsung nyelonong masuk. Keadaan UKS sepi. Tumben, entah kemana perginya perawat yang biasanya berjaga di sana.
Dengan hati-hati, Samudera menidurkan Lingka di atas brangkar. Sejenak, Samudera bertahan pada posisinya sekarang. Pemandangan kali ini sungguh sangat sayang kalau dilewatkan. Melihat Lingka dalam jarak dekat tanpa adanya protes dari gadis itu.
Tangan Samudera menyibak surai yang menghalangi wajah memerah di depannya. Untuk sesaat waktu seolah menghentikan segala kinerja disekitar. Sebelum kedua kelopak mata yang semula terpejam itu tiba-tiba terbuka kemudian diikuti dorongan keras yang mengakibatkan tubuh Samudera sedikit oleng namun, ia masih bisa menguasai diri, sehingga tak berakhir mengenaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hei, Lingka! [ON HOLD]
Teen Fiction[Follow dulu baru bisa baca] Banyak yang bilang kalau Lingka itu menyeramkan, putih pucat, berambut panjang berantakan dan penghuni taman belakang yang terbengkalai. Tak ada yang berani mendekat. Awalnya hidup Lingka damai meksipun tanpa teman, samp...