Kupikir ini normal
Karena tak ada yang memberi tahuku
Bahwa ada warna lain
Selain hitam.
.
Ini terjadi belasan tahun yang lalu kurasa. Aku tak terlalu ingat. Tapi ya, Appa memintaku menuliskannya semampuku.Sejauh yang bisa kuingat, aku hidup dengan terus memastikan bagian tubuhku harus menyentuh permukaan padat yang cukup menimbulkan rasa aneh yang menyiksa pada tubuhku. Waktu itu aku tak tahu apa namanya, yang jelas aku cukup terbiasa dengan rasa itu. Ya, rasa sakit.
Benar-benar sulit menceritakannya jika mengambil posisi sebagai diriku waktu itu. Bagaimana aku harus menuliskannya? Seorang anak perempuan bodoh yang tidak bisa melihat atau mengerti apapun? Ah ayolah.
Intinya, aku hidup seperti itu, meraba-raba tempat di sekitarku, mengunyah setiap dari helaian sesuatu untuk membuat bagian tubuhku berhenti berbunyi tanpa tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Saat permukaan padat yang kumaksud mulai terasa gembur, dan tubuhku merasa kehilangan kehangatan, aku akan merayap ke sembarang arah secepat mungkin hingga tak lagi kurasakan tetes-tetes sesuatu yang lain mengenai tubuhku.
Hingga di satu waktu. Aku mendengar suara yang tak biasa kudengar. Suara ini tidak seperti suara besar yang membuatku merinding, atau suara kecil melengking yang memekakkan telinga. Suara ini indah, dan semakin dekat.
Suara itu terasa sangat dekat, seperti bicara padaku. Mulanya aku merayap mundur menjauh secepat yang kubisa, namun pergerakanku tertahan. Kurasakan tubuhku terangkat menjauhi permukaan padat, membuatku panik dan menggerak-gerakkan seluruh tubuhku asal. Beberapa kali kurasakan tubuhku mengenai sesuatu tapi teksturnya begitu asing.
“Hei hei hei. Hentikan!” Suara itu terdengar berpola namun aku tak mengerti apa itu.
Aku terus menggerak-gerakkan anggota tubuhku hingga pergerakanku terblokir karena sekujur tubuhku seperti dibungkus sesuatu. Bau nya wangi, tapi tak seperti bau wangi yang biasa kucium.
“Aku tak ingin menyakitimu.” Setelahnya, hening cukup lama. “Apa yang gadis kecil sepertimu lakukan sendirian di hutan? Mana orang tua mu?” Suara itu kembali terdengar.
Aku menggeram pelan lalu meracau tak jelas, kemudian bergerak berusaha melepaskan diri dari sesuatu yang membungkusku.
Tapi sia-sia, tubuhku malah semakin terbungkus. “Hei hei! Hentikan!”
“Tidak bisa bicara ya? Itu artinya kau juga tidak punya orang tua. Gadis malang.” kurasakan sesuatu menyentuh kepalaku lembut, bergerak seperti mengusapnya.
“Appa.” Kata suara itu.
Aku tak mengerti, jadi aku terus meracau tak jelas ingin lepas dan kembali menyentuh permukaan padat di bawah sana.
“Appa.” Suara itu mengulang sesuatu yang sama. Tak hanya sekali, tapi berkali-kali. Bersahutan dengan racauan dan geramanku, suara itu terus menerus mengulang hal yang sama.
Mau tak mau aku tertarik, aku menghetikan suara yang keluar dari mulutku. Kemudian fokus pada suara yang berulang itu. “hap-ppaa... a-ap.. pa..”
Suara itu masih mengatakan hal yang sama, namun entah bagaimana, suaranya terdengar sedikit berbeda. Terdengar lebih segar.
Aku membuka mulutku lebar, kemudian mengatupkannya, lalu membukanya sekali lagi, “Ap... pa... Appa.”
“Kerja bagus. Kukira kau benar-benar tak bisa bicara. Ternyata hanya tak tahu caranya. Kkk~” Suara berpola itu hilang. Suaranya masih sama, hanya yang terdengar kembali rumit. Aku memiringkan kepalaku mencoba meneliti ucapan itu, tapi tak ada yang bisa kutangkap.
“Hmm...” suara rendah panjang itu terdengar cukup lama.
“Kedua bola matamu keperakan berkilat, indah. Sayang sekali sepertinya Tuhan terlalu sibuk membuat sepasang bola mata yang indah hingga lupa menambahkan fungsi melihat pada karyanya ini.”
“Lintang Bamantara, ya. Hikaru Lintang Bamantara. Namamu adalah cahaya bintang yang tertiup angin.”
Kurasa dari sanalah hidupku berubah. Iya kan, Appa?