sepuluh

569 109 7
                                    

Brak brak brak

"Sahur, Pa."

"Hah? Kabur?" Pak Teguh menggeliat, makin meringkuk dalam balutan selimutnya, "Ngawur kamu, ah. Ngapain kabur?"

Dinda menghela nafas. Sekarang sudah jam tiga. Untungnya adik-adiknya sudah bangun semua.

Thanks to alarm Marsha untuk sholat tahajud.

Urusan masak memasak ia serahkan pada Marsha sementara Rena ditugaskan membuat susu hangat untuk mereka bertiga.

Tugasnya jadi yang paling sulit.

Membangunkan si Papa yang kalau sudah merem, susah meleknya.

"Sahur, Pa, sahur! Budeg ih!"

"Hmmm..."

"Bodo amat ya, Dinda tinggal. Besok kalo kelaperan jangan ngeluh ke Dinda."

Dengan begitu, Dinda keluar kamar. Disambut Marsha dan Rena yang sudah duduk manis di karpet.

Dua-duanya fokus ke televisi. Menonton serial spesial. Ramadhan.

"Masak apa, Ca?"

"Bandeng, Mbak. Nggak apa-apa?"

"Ya iya dong," Dinda tersenyum sambil membuka tudung saji, "Udah sana kalian berdua makan."

"Okeeee."

Tak lama, tiga-tiganya duduk berderet. Mulut sibuk mengunyah, mata sibuk menonton.Mendiang Mama dulu suka sekali nonton serial-serial khas Ramadhan.

Seru, katanya. Jadilah mereka ikut terbawa.

"Rohmat jadi ganteng ya begitu tobat," komentar Marsha.

"Iya, Ca. Tipe gue banget."

"Dih, ikut-ikut aja lo, Ren!"

"Lo kali ikut-ikut gue! Lo mah si itu aja tuh...si Ismet!"

"Apa-apaan????"

Dinda cuma menggeleng maklum. Sudah kelewat hafal kelakuan adik-adiknya.

Padahal mah Dinda sendiri juga suka sama Rohmat.

Tapi kalau dia ikut-ikutan, yang ada nanti perdebatan mereka akan jadi semakin panjang. Bisa berabe.

Rena jadi yang pertama berdiri. Melangkah ke dapur untuk mencuci piringnya. Marsha mengikuti di belakang, sesekali iseng menyenggol kaki saudara kembarnya.

"Mbak Dinda, Caca nih!"

"Gue nggak ngapa-ngapain, kok! Rena aja yang lebay!"

"Berantem sekali lagi, Mbak kunciin kalian di luar ya!" teriak si sulung pada akhirnya.

Si kembar langsung diam. Marsha kembali mencuci. Misuh-misuh di tengah aktivitasnya.Rena duduk kembali di samping Dinda. Kali ini, segelas milo hangat ada di tangan.

Rutinitas lain yang Mama tempelkan pada anak-anaknya.

"Papa mana, Mbak?"

"Masih pacaran sama bantal, tuh."

"Nggak dibangunin?"

"Kamu sana bangunin lagi. Mbak udah coba bangunin lima kali."

"Ih, ogah."

"Bangunin, Ren. Kasian."

"Mbak aja sana."

Dinda berdiri, "Mbak mau nelpon Johnny dulu. Takut dia belom bangun."

"Bucin."

"Mending bucin Johnny daripada bucin Rohmat."

Rena sontak melotot, tak terima, "Ca, Mbak Dinda nih, ngehina idola kita, Ca!"

"Apaaaaa?!"

























Teguh duduk meringkuk di atas sofa. Kepalanya pening dan perutnya panas. Iya, panas.

Kalau kata anak-anaknya, sih, itu namanya lapar.

Dapat ditebak, pada akhirnya mereka menyerah membangunkannya untuk sahur.

Teguh ingin marah, tapi ini salahnya juga karena menonton sampai larut malam walau sudah diingatkan oleh Dinda yang semalam begadang bersama tugas kuliah.

Hari sudah sore. Warna jingga sudah mendominasi langit. Teguh melangkah lagi ke teras. Tengok kanan kiri sambil menggerutu.

"Ini anak gadis pada kemana sih jam segini belum balik?" ia menepuk pilar tak sabar, "Lupa kali ya masih punya bapak di rumah?"

"Nggak lupa dong, Pa."

Suara Dinda terdengar bersamaan dengan suara deru mobil. Mobil Johnny ada di sana. Marsha keluar pertama, menenteng seplastik martabak lalu cium pipi Teguh.

"Caca pulaaang!"

"Ca, jahat banget lo! Berat ini!"

"Bawa sendiri!"

"Caca!"

Rena mendengus di belakang. Susah payah bawa plastik isi botol-botol minuman sampai akhirnya diambil alih oleh Johnny.

"Makasih, Mas Jo! Aku ngejar Caca dulu, ya!" ucapnya cepat, "CACA! SINI LO!"

"Iiih! Mas Jo kok bantuin Rena, sih?!"

"Ati-ati kalian, astaga!"

Teguh dan Dinda sama-sama menggeleng maklum. Tiada hari tanpa perseteruan si kembar di rumah.

"Pa, hari ini nggak masak gapapa, ya? Johnny beli gurame bakar sama sop iga. Buka pake itu aja gapapa?"

"Lebih dari cukup itu, Din."

"Oh, itu si Jo buka di sini juga gapapa, kan?"

"Lho? Kan emang biasanya dia buka puasa sama kita, kan?"

"Ya kan Dinda nanya aja. Buat formalitas."

Dinda berjalan duluan. Teguh sudah tahu tujuannya kemana.

Kepala Johnny akan diusap lembut diiringi senyum manis putri sulungnya. Lalu keduanya akan mulai menata makanan.

Biasanya begitu.

Johnny selalu berbuka di sini. Merantau buat pria itu jauh dari rumah, Dinda bersikeras, mau kekasihnya makan dengan benar.

Teguh tidak pernah keberatan, toh, pria jangkung itu sudah jaga putrinya baik-baik.

"CACA, RENA, DUDUK! MBA—Sayang, itu taro di piring yang itu aja. Iya. Makasih, Sayang."

Memang, ya. Kelinci galak yang hanya lembut pada Johnny seorang.











kangen buku ini kaah?

btw, Rohmat sama Ismet itu ada di sinetron Amanah Wali di RCTI guys. tontonanku itu:))

Cerita Kita!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang