Eng ... nggak mungkin. Ini nggak mungkin ... bagaimana?"
Andra panik. Berbagai teori tidak masuk akal muncul memenuhi kepalanya.
"Kalau yang dibilang oppa ganteng itu benar, berarti ... gue .... Tapi seharusnya mesin waktu mustahil ada. Kalaupun ada ... bukannya gue harus tahu soal itu? Tapi, kembali ... mesin waktu mustahil ada," monolog Andra. Dirinya mondar-mandir mengelilingi seluruh ruangan, menggigiti kuku adalah cara yang paling ampuh untuk mengurangi beberapa persen kepanikannya.
Tok! Tok! Tok!
"EH, GUE YANG NYURI TELUR SU-NI!" latah Andra.
Gedoran pintu penyebabnya. Ah, Andra lupa jika pria yang ia sebut oppa sekaligus orang yang ditendangnya tadi masih ada di luar.
"Hey! Kau ganti baju atau tidak sadarkan diri?! Lama sekali!" katanya. Kentara sekali tipikal orang kurang sabar.
"IYA, IYA! GUE KELUAR!" balas Andra.
Hening sejenak. Tapi, hey! Mengapa Andra harus memakai hanbok ini?! Tidak ada baju lain?!
"Cepat! Banyak yang ingin kutanyakan padamu!" omel sang lelaki. Lagi.
"IH! SABAR, KENAPA! INI BAJU SUSAH BANGET PAKAINYA, ASTAGA!" Andra kembali berteriak.
Mengesampingkan teori-teori yang membuat kepalanya pusing tadi, Andra lebih memilih fokus memakai baju kembali. Ok, salah Andra karena menghilangkan multipurpose-bag-nya.
Ngomong-ngomong, tasnya kemana?
Setelah berkutat beberapa lama dengan baju yang sama sekali asing baginya itu, Andra akhirnya selesai. Namun rambutnya masih saja acak-acakan.
Ikat rambut sutra yang seperti seutas tali rafia itu sama sekali tidak membantu. Sekali lagi, karet rambut Andra ada di dalam multipurpose-bag.
Bagus.
Karena rambutnya tidak terlalu panjang, Andra lebih memilih membiarkan rambutnya tergerai. Lalu dengan cepat berjalan keluar sebelum sang lelaki tampan tapi bawel itu mengamuk lagi.
Krieett ....
Pintu terbuka. Andra sedikit mengerjapkan mata karena di luar terlalu silau. Di masa depan memang penduduk bumi hanya bergantung pada matahari buatan. Dan tentunya matahari buatan tidak akan sebanding dengan matahari asli.
"Hangat ..." gumam Andra. Senyum perlahan terkembang di wajah manisnya.
"Hey! Sadarlah!"
Seperti mendengar suara kaset lama yang rusak, Andra dengan cepat kembali ke realita. Senyum lembut tadi tergantikan dengan ekspresi sinis pada pria tampan di depannya.
Tanpa menunggu aba-aba, lelaki itu--- yang bahkan Andra tidak tahu namanya menariknya.
Langkahnya terseok-seok berusaha menyamai langkah besar-besar dari kaki panjang lelaki itu. Apalagi dengan hanbok dan sepatu tradisional ini ... sungguh rasanya Andra ingin menangis.
Padahal Andra tinggi, loh. Lebih tinggi dari Hoshi, kakak tingkatnya yang kalem tapi diam-diam gila. Tapi sayang sekali, lelaki yang menariknya jauh lebih tinggi.
Setelah 15 menit diseret seperti itu, Andra mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menepis tangan sang lelaki.
"Apa untungnya gue ikut sama Lo?" kata Andra. Aura mengintimidasinya menguar. Memasang kuda-kuda kalau-kalau lelaki itu macam-macam padanya lagi.
Yang lebih tinggi terdiam. Menatap datar Andra balas mengintimidasi. Tinggi, mata tajam sipit dan garis rahang tegasnya sangat membantu ekspresi wajah datar itu.
Baik. Andra kalah. Saatnya menendang pria itu---
"Ugh-!"
Kaki Andra terhenti di udara. Di depannya, sang lelaki menenteng tas yang sungguh dibutuhkan Andra.
Pelan-pelan, ia turunkan kakinya. Andra juga sudah berdiri dengan tegak. Namun masih memasang pengawasan tingkat tinggi.
Hutan begitu gelap karena pohon begitu rimbun. Andra tidak dapat melihat jelas wajah lelaki itu.
"Jika kau ingin bungkusanmu kembali, jangan macam-macam. Jangan bersuara juga," kata sang lelaki.
Andra mengeraskan rahang. "Gue kasih 1 kesempatan bertanya."
"Siapa ... kau?"
"Andra."
"Ck. Aku tak tanya namamu."
"Terus?!" Andra mulai tidak sabar. Dirinya mengeluarkan sesuatu dari belakang punggungnya. Terletak di tangan kiri.
"Apa urusanmu di Songak? Apa kastamu? Putri? Bangsawan? Pedagang? Atau rakyat jelata?"
"Gue juga nggak tahu. Kasta? Nggak tahu juga. Yang jelas lebih tinggi dari Lo." Andra menyeringai. Dengan cepat ia mengarahkan sesuatu yang sedari tadi di tangan kirinya itu ke depan sang lelaki.
Tas terlempar. Andra sangat menikmati mata terkejut itu.
"Hup!" Tas beralih. Andra dengan senyum kemenangan menenteng tas itu. Agak berat namun Andra gengsi jika harus menjatuhkannya sekarang.
"Giliran gue yang nanya, oppa. Jawab dengan jujur. Ini ... dimana?" tekan Andra.
Kening sang lelaki berkerut. Bukankah wanita itu sudah bertanya tadi?
"Songak, Goryeo. Apa lagi yang kurang kau mengerti?" jawabnya.
Tak disangka, wajah Andra tambah memucat. "Ta-tahun berapa?"
Sang pria terkejut. Serius ia bertanya begitu? "Tahun ayam," jawabnya.
Tahun ayam, tahun ayam. Sial, Andra tidak mengerti tahun China.
"Tahun berapa?! Bukan tahun apa!" Andra keki. Ia baru tahu kalau pengetahuannya tidak sedalam itu.
Yang lebih tinggi merotasikan bola mata malas. "949 M. Tapi serius kau hanya tanya itu?"
Andra mematung. Teori konspirasi tentang mesin waktu kembali mengganggu kepalanya.
"Lo... siapa? " Andra menahan nafas.
Wang So tersenyum dingin. "Wang So," Lalu menunggu jawaban Andra selanjutnya.
Wang So ... Wang So ... Marga Wang serta nama depan satu kata ...
"Raja Gwangjong?!"
***
TBC. ~Gaje, Xyraa Gajeee :'v
Btw, sadar nggak, sih? Aku lupa nasib visualisasinya Kim Su-ni. 📸
Padahal Su-ni tokoh penting juga, loh~🌝
Menurut kalian, visual yang cocok ama Su-ni siapa?
Salam hangat,
Xyraa~ang@_@
KAMU SEDANG MEMBACA
Saranghabnida, Pyeha! : THE GORYEO'S DORAEMON
Historische RomaneTahu Doraemon? Iya, Doraemon yang itu. Aku akan senang sekali jika jadi Nobita yang akan dibantu oleh Doraemon. Masalahnya .... AKU YANG JADI DORAEMONNYA! Baik-baik. Mungkin itu tidak terlalu menjadi masalah bagiku jika saja orang yang menjadi...