"Bang Eki, nasgor ati ampelanya biasa." Pesanku pada Bang Eki, yang sedang menggantikan ayahnya berjualan malam ini sepertinya.
"Siap, siap. Seperti biasa, nggak pedes kan. Dibungkus apa makan sini?"
"Yo'i. Take away aja".
"Siyap nih tak bikin dulu. Ditunggu ya" kata nya ramah sembari sibuk melayani pengunjung yang lain.
Aku pun duduk di salah satu bangku dan memainkan kunci motorku di atas meja.
"Tiap malem makin rame nih Bang?"
"Iya nih Re. Kemaren aja bapak sampe kewalahan. Makanya, sekarang gue yang ganti'in. Maklum, udah tua. Kewalahan dikit langsung loyo"
"Kenapa nggak nyari asisten aja sih Bang?"
"Nah itu dia Re. Dagang tuh kadang suka aneh, pas rame pasti bakal keteteran apalagi gue jaga sendirian. Tapi kalo dibawain karyawan, sepi Re nggak ada yang beli."
"Berarti emang ini ya Bang, harus dikelola sama keluarga sendiri."
"Iya, gue anter ini ke meja ono dulu ya Re" pamitnya sambil membawa dua piring nasi goreng.
Tak lama seteah Bang Eki kembali, terdengar suara berat dari belakangku.
"Bang, nasgornya bebas, bungkus dua puluh"
"Ah siap. Dua puluh ya?" Bang Eki mengulanginya, takut salah.
"Iya" jawab orang itu lalu duduk tepat di sampingku karena semua bangku sudah terisi.
Kulihat penampilannya dari atas sampai bawah. Ia tampak seumuran denganku, berkulit putih, wajah tampan, postur badan ideal, gaya rambut yang membuatnya semakin maskulin, dan segala yang melekat pada tubuhnya terlihat keren menurutku. Sepertinya, dia bukan dari golongan kantong cekak sepertiku. Tapi, mengapa beli nasi goreng di pinggir jalan seperti ini? Itulah yang membuatku heran. Bukan tak beralasan, karna setahuku kebanyakan orang yang makan di tempat Bang Eki ini adalah pelajar - pelajar dompet garing sepertiku. Bahkan baru pertama kali ini kulihat dagangan Bang Eki laris manis seperti ini.
Aku tetap memandangnya seperti orang bodoh sampai ia sadar akan tatapanku dan membalasnya, "Kenapa?" Tanya nya dengan raut wajah terheran - heran, terlihat dari alisnya yang di angkat sebelah.
Aku yang tak menyangka dia akan bertanya pun menjadi gugup. Bayangkan saja betapa memalukannya diriku, "Hah? Enggak"
"Kenapa melototin gue gitu?" Paparnya sembari melihat ke bawah seperti mencari entah apa aku pun tak paham. "Gue nggak ada injek kaki lo kan?" Lanjutnya.
"A-apa?" Entah kenapa aku merasa semakin gugup apalagi setelah menyadari bahwa jarak kami cukup dekat. Mungkin ini faktor jomblo menahun.
Sedang dia tambah heran dan bergumam, "Cantik - cantik ternyata bolot juga"
"Enak aja. Gue nggak bolot kok!" ucapku spontan. "Baru ketemu udah sompral aja nih mulutnya" lanjut gumamku yang masa bodoh jikalau ia mendengarnya.
"...?"
"Iyalah. Dan, yang tadi itu..." aku sengaja memberi jeda untuk melihat ekspresinya. Dan ternyata ia menunggu jawabanku.
"Tadi itu, gue cuma heran aja. Orang kayak lo begini, kok bisa mampir ke sini" jelasku sambil menunjuknya.
"Emang gue orang kayak apa?" Tanya nya kembali.
"Ya... mana gue tau. Kan gue nggak kenal. Yang gue maksud tuh- ah udahlah nggak usah dibahas" pungkasku canggung.
Setelah kuberi penjelasan, ia pun terdiam sejenak. Tapi, itu malah membuatku semakin gugup karena dia masih tetap memandangku.
"Apa lagi? U-udah kan" tanya ku dengan nada ragu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Say "No" to first love
Teen FictionBukan perihal urutan pertama, ke dua, dan seterusnya. Namun yang mampu berdiri di sisimu tanpa permainkan asa.