B. Dua Puluh Tujuh - Rumah Profesor Sraga

52 13 3
                                    

| Chapter 27 |

Thanks, ya, Zil.”

“Sama-sama. Oh ya, kasih tau si Rajit kalau lo udah ada di rumah. Gue bakal diteror terus kalau lo nggak ngasih kabar ke dia.”

Caya terkekeh. “Nanti gue akan langsung chat Rajit.”

Dari atas motor, Zildan tersenyum lembut. Dia segera memakai kembali helmnya dan berpamitan pada Caya. Ya, Caya baru saja diantar pulang oleh Zildan. Pemuda itu bilang bahwa rumah mereka satu arah—setelah Caya mengatakan letak rumahnya. Jadilah, Caya tidak mau menolak kesempatan gratis tersebut. Hitung-hitung hemat ongkos dan tak perlu berjalan sendirian saat jam menunjukkan pukul sebelas malam.

Begitu membuka pintu utama, Caya disambut dengan tatapan mengintimidasi dari Papanya. Bima melipat tangan di depan dada dengan punggung menyandar ke meja berisi bingkai-bingkai foto.

“Kenapa baru pulang, Cayara? Kamu bilang sama Papa kalau acaranya itu selesai jam sepuluh. Terus, ini kenapa bisa kebablasan sampai satu jam?” tanyanya beruntun, yang tentunya dengan nada ketus.

“Caya nggak tau kalau acaranya sampai selama itu, Pa. Beneran, tadinya Caya pengin pulang duluan, tapi nggak dibolehin sama yang lain,” ungkap Caya. Ia sudah berbicara sejujur-jujurnya. Kalau saja Mala tidak memaksanya tetap di sana, pasti Caya sudah kabur dan pulang ke rumah. “Maaf, Pa.”

Sebenarnya di samping Bima ada Dena. Namun, Mamanya itu tidak berani berbuat apa-apa. Karena dia tahu kalau suaminya punya jiwa yang selalu mengutamakan ketepatan waktu. Jika masalah jadwal kuliah atau yang bersangkutan dengan pendidikan, Bima akan memaklumi.

Bima menghela napas, lalu menurunkan tangannya menjadi di samping tubuh. “Ya sudah, masuk ke kamar. Sudah makan, ‘kan?”

“Iya, udah,” balas Caya, agak menundukkan kepala. “Kalau gitu, Caya masuk kamar. Selamat malam.”

Caya segera menuju kamar. Mengunci pintu dan melempar asal tas selempangnya ke tempat tidur. Kemudian, ikut merebahkan diri di sana tanpa membuka setelan ataupun sepatu yang dikenakannya.

Jujur, Caya tak menyangka akan bisa mengobrol banyak dengan Zildan selama perjalanan pulang. Pemuda yang cukup manis itu ternyata cerewet juga. Padahal dulu mereka hanya mengobrol sebatas soal-soal matematika saja.

Zildan menceritakan kalau dirinya memiliki kakak laki-laki, yang hanya terpaut usia satu tahun. Dan dia juga mengatakan bahwa papanya adalah orang yang terlihat cuek, tapi sebenarnya sangat baik dan perhatian. Lalu, yang terakhir diceritakan itu perihal seorang gadis yang sudah sejak lama disukainya. Namun, gadis itu sudah milik orang lain.

Mata Caya terpejam ketika merasakan semilir angin menyapu separuh wajahnya. Kini ia menghadap kanan, ke arah tas selempangnya. Meraih ponsel dari dalam sana dan mencari kontak seseorang yang ingin sekali dihubunginya. Lagi-lagi, yang Caya lakukan hanya menatap kontak tersebut tanpa berani menyentuh ikon berbentuk telepon.

Tiba-tiba saja terdengar suara Aka memanggil dari luar, disusul ketukan di pintu kamarnya. Caya melenguh kasar. Tidak ada hari yang tenang baginya. Aka selalu saja menjadi makhluk pengganggu.

“Kenapa?” tanya Caya begitu pintu sudah dibuka setengah.

Tepat di depan Caya, berdiri Aka dengan setelah piyama bermotif kotak-kotak. Wajahnya terlihat serius, membuat Caya sedikit bergidik. Aka mengulurkan tangan kanannya sembari berujar, “Omelan Papa barusan bukan berarti Papa nggak sayang sama lo. Nih, makan—eh, jangan sekarang, deh, mending besok aja biar nggak sakit gigi.”

“Hah? Lo kenapa, Ka?” Sungguh, Caya dibuat bingung dengan tingkah laku Aka. Adiknya yang super menyebalkan itu sekarang menjulurkan sebuah permen loli rasa stroberi ke arahnya.

The Lost History; S-156 [Book 2]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang