Chapter 11. Kita Teman

36 6 7
                                    

Hampir saja Sabira melempar novel yang baru saja ia baca jika tidak mengingat kalau diruangan ini ia tidak sendiri, ada makhluk kasat mata yang duduk tenang disebelahnya.

Disimpannya novel bercover bunga sakura yang berguguran itu keatas meja dengan kasar. Sialan, sad ending. Andai ia kenal dengan si penulis pasti sudah ia maki-maki karena telah membuat alur seperti itu.

Wajah Sabira benar-benar kusut, moodnya berantakan seketika. Semua ini karena novel sialan itu, ingatkan ia untuk menyimpan benda itu digudang. Ya, Sabira akan menyimpannya digudang agar tidak ia lihat dan berpotensi membuatnya bad mood. Ia tidak akan membuangnya, enak saja novel itu ia beli dengan uang saku yang di sisipkan setiap hari mana mungkin dibuang begitu saja.

Tidak sengaja Sabira melirik sebongkah daging bernyawa yang begitu damai dengan aktivitasnya sendiri, berbanding terbalik dengan dirinya yang belingsatan seperti cacing kepanasan.

Ditatapnya Sabas aneh, bagaimana bisa ada manusia setenang itu. Sejak berjam-jam yang lalu Sabas sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata pun bahkan Sabira berpikir Sabas tidak bergerak sedikit pun karena ia tidak merasakan pergerakan Sabas dari tadi.

Definisi patung dikasih nyawa ya begini.

Lama menatap wajah Sabas dari samping tiba-tiba Sabira teringat akan sesuatu, ia merubah posisi menghadap Sabas. "Kak," panggilnya.

Hening.

Sabas tidak menyahut atau sekadar melirik, dia tetap menunduk memandangi ponsel yang dipegang.

"Sabas."Sabira memanggil sekali lagi.

"Hm,"dehem Sabas cuek.

"Aku mau nanya, liat sini dulu." pinta Sabira.

Sabas tidak mengindahkan Sabira justru dia menyuruh Sabira untuk diam ketika ada seseorang yang menelfonnya.

Mendapat respon seperti itu jujur saja hati Sabira agak tersentil karena merasa mendapat penolakan, akhirnya ia memilih keluar dari kamar untuk mencari hal yang menarik.

Dari sini kita tahu bahwa Sabira bukan tipe gadis yang haus perhatian, jika ia sudah meminta sekali dan tetap tidak diperhatikan maka Sabira tidak akan memintanya lagi. Mungkin karena dulu ia pernah sekali mendapat penolakan dari Andrew ketika meminta perhatian pria itu membekas dalam ingatannya membuat Sabira tidak ingin mendapat penolakan untuk yang kedua kalinya. Padahal jika ia berusaha sedikit lebih keras bukan tidak mungkin ia akan terus ditolak.

Namun setiap orang mempunyai caranya sendiri untuk menjaga perasaannya, seperti Sabira contohnya ia lebih memilih untuk berhenti dari pada terus berjuang dan tidak mendapatkan hasil yang diharapkan hanya akan membuatnya kecewa dan terluka lebih jauh. Itu tidak salah, yang salah adalah ketika ada seseorang dengan berani menjudge orang lain atau hidupnya tanpa tahu apa yang sedang dijalani.

Sedangkan disisi lain Sabas menatap punggung Sabira yang perlahan menghilang dari balik pintu. Ia merasa bersalah telah mengabaikan gadis itu meski ia tidak bermaksud demikian karena tiba-tiba saja Ansley menelfon maka dari itu ia meminta Sabira diam sebentar tapi sepertinya marah sebab merasa diabaikan.

"Tuan, apa anda masih disana?" Ansley bertanya diseberang sana karena sejak tadi ia berbicara panjang lebar Sabas hanya diam saja, dia pikir Sabas tidak mendengarnya.

"Saya disini. Masih ada yang ingin kamu sampaikan?"

"Mrs. Sharoon sebagai perwakilan BS'corp menolak menandatangani kontrak kerja sama sebelum bertemu langsung dengan pemimpin NgR' Group. Apa saya harus mengatur pertemuan ulang anda dengan pihak BS'corp, tuan?"

SABTWO [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang