CHAPTER 22

327 59 82
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selepas Jimin pergi lantaran ada urusan mendadak, Taehyung memulai untuk kembali bercengkerama dengan Jiya meskipun kenya tersebut nampak enggan melayani

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selepas Jimin pergi lantaran ada urusan mendadak, Taehyung memulai untuk kembali bercengkerama dengan Jiya meskipun kenya tersebut nampak enggan melayani. Taehyung memikirkan terlalu banyak soal mantan calon isterinya itu—atau kekasih, adam itu masih menganggapnya seperti itu. Ubun-ubun selayaknya diperberat oleh berbagai varietas perasaan yang membuat Taehyung tidak kapabel untuk menahan gejolaknya.

Menjadi laki-laki penuh komposur bukanlah keahlian Taehyung. Apapun yang bersangkutan soal Jiya dan relasinya dengan Taehyung, Taehyung imbesil soal mengikhlaskan sesuatu. Tatkala Taehyung mencoba untuk bersikap dan bertindak tenang selayaknya rotasi bentala, ia sangat tertekan. Ia ingin sesegera mungkin mendetonasikan amarah pada Jiya dan pacar barunya itu—yang secara harfiah adalah karib Taehyung sendiri.

Taehyung mencoba untuk memprioritaskan logika. Tak ingin bersikap agahan lantaran nantinya malah memberikan kemungkinan besar kekalahan yang mendominasi. Sehingga perasaan adalah sesuatu hal yang ia tidak pedulikan—untuk saat ini. Tenang, namun pada hakikatnya Taehyung sudah selayaknya dikuliti oleh sembilu; sakit, pedih, dan perih.

“Aku sangat mencintai kamu, Jiya. Aku mesti bagaimana?”

Perasaan macam apa itu? Taehyung sangat meyakini bahwa afeksi yang ia bangun dari nol sudah mencapai limitnya dan tidak dapat kembali turun. Taehyung mencintai Jiya. Sangat. Perempuan arogan dan munafik itu seringkali menyelimuti sanubari Taehyung hingga menghangat, mewarnai realita dan imajinasi dengan warna elok, dan mencumbu fragmen yang ia harapkan agar kembali kirana. Taehyung mencintai Jiya. Sangat. Ia tak kapabel untuk menurunkan intensitas rasa cintanya.

Perempuan tersebut melirik sebentar. Taehyung terdiam kala itu. Baju satin putih tulang itu bergerak minim sebab dihempas dersik angin, begitupula dengan surai hitam legam panjangnya. Kelewat agung. Taehyung tidak punya alasan atau latar belakang khusus soal dirinya yang teramat memuji Jiya.

“Coba untuk membenciku,” balas Jiya kemudian.

Tertawa geli. Adam tersebut refleks menggemakan suaranya. Membenci katanya?

Tatkala Taehyung hendak memberikan balasan konkret bahwa sesungguhnya ia tidak kapabel untuk melakukan hal tersebut itu atau membuat penyimpangan perasaan, Taehyung malah disuguhi visualisasi eksentrik. Jiya menelungkupkan kedua telapaknya, absolut menutupi pancarona wajak yang elok. Bahunya bervibrasi. Perempuan tersebut meluruhkan likuidnya lagi dengan alasan yang tidak Taehyung ketahui. Harusnya Jiya tidak perlu repot-repot menangis, kan?

𝐌ㅡ𝐒𝐢𝐧𝐚𝐭𝐫𝐚 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang