Sedang Menggali Tanah [1/1]

119 31 11
                                    

Dua hari lamanya seekor manusia tersesat di padang gersang. Ia berjalan terlunta-lunta tak tahu arah. Lidahnya terjulur panjang, sesekali keluar masuk rongga mulut. Keluar lagi. Masuk lagi. Keluar lagi. Masuk lagi. Terus begitu. Ia meniti jalan pecah-pecah di siang bolong. Kepanasan, kehausan, kelelahan. Sama seperti makhluk hidup lainnya, ia butuh istirahat.

Duduklah seekor manusia itu di sebuah pohon perdu yang terletak di tengah-tengah lahan tandus. Ia memutuskan tidur di sana hingga menjelang sore. Ketika bangun, ia menelan ludah sembari mengelus leher. Seekor manusia itu celingak-celinguk melihat sekeliling, namun tidak ada tanda-tanda air di dekatnya.

Kala ia hendak melanjutkan perjalanan, gundukan tanah di dekat kakinya basah seperti baru ditetesi air. Padahal tidak ada hujan dadakan atau simpanan air di cabang pohon perdu. Tidak mau menyia-nyiakan waktu, seekor manusia itu mengais-ngais tanah basah-mencari air yang barangkali tersimpan di bawah sana.

Menjelang malam, ia masih terus menggali. Pikirnya kalau berhenti, nanti perjuangannya sia-sia. Jadi seekor manusia itu telaten mengerok tanah. Karena permukaan tanah yang digali semakin jauh dari jangkauan, ia pun masuk ke dalam lubang itu dan kembali mengais dengan kesepuluh tangan.

Seekor manusia itu sudah melewati akar-akar liat pohon perdu. Kini posisinya ada sangat jauh di bawah pohon perdu.

"Air, air, air, air," katanya terus-menerus. Seluruh tubuh seekor manusia itu basah kuyup oleh keringat sendiri. Kesepuluh ujung jemarinya berdarah-darah, bercampur dengan tanah yang lembap nan basah. Napasnya memburu. Lidah panjangnya terjulur tanpa bisa kembali masuk ke dalam, terseret-seret menyerupai tali tambang.

Saat tanah yang digali semakin berair dan basah, sepasang matanya melotot lebar seakan-akan mau keluar. Ia tertawa kencang, lidahnya bergoyang-goyang. Saking senangnya, lidah panjang itu menampar sisi tubuh sampai kemerahan.

Tak lama kemudian tanah yang dikeruk amblas. Dalam sekejap seekor manusia itu terjun ke sebuah danau yang jernih dan dingin. Ia berenang kegirangan sambil menelan banyak sekali air. Saking banyak air yang diminum, perutnya sampai membesar melebihi ukuran tubuh. Tubuh seekor manusia itu tidak lagi ringan. Ia perlahan-lahan ditelan danau.

"Tolong! Tolong! Tolong!" teriaknya begitu, tetapi tidak ada yang mendengar sebab ia sendirian. Dengan cepat dan praktis ia tenggelam sampai ke dasar danau. Tubuh seekor manusia tersebut bersemayam bersama ratusan bangkai manusia lainnya.

Selama seminggu lamanya lubang dalam yang dibuat oleh seekor manusia tersebut runtuh. Jalan menuju ke danau sudah ditutup. Tidak ada lagi jejak-jejak yang tersisa.

Dan selama seminggu itu pula sebuah pohon perdu di tengah tanah tandus tumbuh semakin besar dan segar. Pohon tersebut bersiap menanti seekor manusia yang kelelahan di tengah perjalanan nantinya.[]




Sebuah flash fiction
406 kata
Kamis, 22 April 2021.





Aku gabut.

Menggali [1/1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang