Prolog

8 0 0
                                    


Sudah ketiga kalinya Papa mengintip dari balik pintu kamar, diikuti oleh Mama yang juga menampilkan raut sedih. Seperti kebanyakan orang tua pada umumnya, sedih ketika hendak ditinggalkan anaknya merantau. Begitu pula dengan orang tuaku. Namun aku selalu menunjukkan senyum pada mereka.

“Kakak, jangan sampai telat makan. Jangan sering makan indomie, kurangi makan seblak, apalagi yang pedas-pedas.”

Sekali lagi aku mengangguk. Kalimat itu sudah kudengar sejak kemarin, tidak dapat dipungkiri Mama seperti berat melepasku. Mengingat aku yang tidak pernah bepergian jauh, keluar rumah pun dapat dihitung selain pergi ke sekolah.

“Kalau vertigonya sering kambuh harus buru-buru cek ke dokter.” Kali ini suara Papa. Walau terlihat biasa saja, namun nada kekhawatirannya begitu jelas.

“Kakak ngerti Pa, Ma. Jangan cemas ya. Waktu itu Papa dan Mama sudah ikut cek lokasi kostnya. Gak ada yang perlu di khawatirkan. Lagi pula Bandung-Lampung tidak jauh-jauh amat.” Aku menatap Mama dan Papa bergantian, meyakinkan.

“Don’t worry, I will be fine, okey.” Imbuhku menenangkan.

Usai mereka meninggalkanku sendirian di kamar, segera kuraih bingkai foto dari dalam laci. Sebuah figura yang kini hanya meninggalkan kenangan. Mungkin alasan itulah yang meneguhkan tekadku memilih Lampung sebagai pilihan kakiku melangkah. Agar aku bisa merasakan kehadirannya. 

Lantas pandangaku beralih pada setumpuk dokumen yang akan kubawa besok. Yang akan membawaku mengarungi perjalanan baru dan mewujudkan mimpi saudari kembarnya yang lebih dulu meninggalkan dunia. Dan menitipkan mimpinya padaku. 

“Kak, kayaknya aku pilih FKIP Bahasa Inggris Universitas Lampung aja deh.”


***

Malam, hadir dengan cerita baru. Semoga senang ya 😉

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang