“Hallo, my name is Junia. I come from Bandung.”
Aku sebagai penutup perkenalan di kelas mata kuliah Reading 1 karena sengaja memilih kursi paling belakang sendiri. Lalu dilanjutkan dengan kontrak kuliah oleh Mr. Suseno selama satu semester ke depan. Pertemuan Reading 1 berakhir pukul 11.45. Membawa anak-anak meninggalkan kelas.
Putri dan Nadira mengajakku ke masjid sebelum masuk kelas Listening 1 jam satu nanti. Tapi aku meminta mereka duluan karena sedang tidak sholat dan mau ke gazebo belakang gedung FKIP mencari refrensi untuk artikel. Harusnya sudah dikirim pagi tadi, tapi karena semalam ketiduran setelah mengerjakan buku teka-teki.
Tapi sepertinya sebelum ke gazebo harus ke kantin dulu. Perutku sudah mulai keroncongan minta diisi kalau tidak ingin pingsan di tengah-tengah perkuliahan nanti. Begitu selesai membereskan barang-barang di atas meja dan memasukkannya ke dalam tas. Aku hendak beranjak, tiba-tiba seseorang menghentikan kakiku.
“Junia?”
Aku menoleh ke samping. Rupanya masih ada orang yang belum meninggalkan kelas, kirain menyisakan aku seorang di ruangan ini.
“Junia?”
Lelaki itu kembali mengulang menyebut namaku. Anehnya ia seperti tengah berpikir atau malah berbicara sendiri, karena raut wajahnya seperti tengah melakukan percakapan yang tidak jelas.
Membuatku bingung saja.
“Serius namamu cuma Junia? Tanpa ada embel-embel lain?” Wajahnya antusias dengan mulut terus mengulang namaku pelan. Menatap dengan tatapan serius.
Aku mengangguk.
“Ada yang salah?”
Ia menggeleng pelan. “Aneh saja,” ucapnya kemudian.
Aku mengerutkan kening. Aneh katanya? Aneh bagaimana maksudnya, bukankah masih wajar. Aneh kalau misalnya aku tidak memiliki nama. Lagi pula kenapa repot-repot mempermasalahkan namaku. Sementara aku sebagai pemiliknya senang-senang saja, karena memudahkan dalam mengisi biodata di lembar ujian sekolah.
Rupanya lelaki itu belum berhenti mempermasalahkan perkara sebuah nama. Buktinya ia masih sibuk merapalkan namaku bagai mantra yang keluar dari mulutnya berulang kali.
“Junia Kenandra Jeha.”
“Hah?”
Apa maksudnya barusan? Ngomong apa sih, kenapa sibuk sekali memantrakan namaku seperti rapalan yang harus dihafal untuk ujian. Aneh sekali. Lagi pula sejak kapan ada makhluk sejenis ini masuk FKIP sih. Bukan apa, Cuma penampilannya terlalu trendy dan kurang cocok untuk jurusan keguruan.Maksudnya mengingat di fakultas FKIP jarang banget cowok bening. Bukan berarti tidak ada lho ya. Tapi yang modelan trandy dan keren begini memang langka. Kehadiran lelaki itu pasti jadi angin segar bagi kaum hawa di fakultas ini. Tumben-tumbenan ada makhluk berwajah bening dengan style fashionable masuk FKIP. Biasanya yang model beginian di jurusan FE, FK, FH.
“Jeha.” Nada suaranya seperti memprotes aksiku tengah mendikteinya. Tapi nama yang ia ucapkan bukanlah namaku. Salah sebutkah?
“Jeha.” Ulangnya lagi sambil menerawang. Lagi.
Lelaki tampan berkulit putih bersih dan memiliki hidung bangir memandangku dengan senyum mengembang. Kali ini aku justru terpaku dengan penampilannya yang benar-benar detail sekali. Baju kerah warna biru dipadukan celana jins dan sepatu sport berwarna senada dengan warna baju. Rambutnya terpotong rapi. Menambah kesan good looking.
Astaga orang ini! Aku menggeleng pelan, padahal jurusan FKIP mahasiswanya dilarang keras memakai celana jins. Tapi tampaknya peraturan tersebut tak berlaku pada lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion
Teen Fiction"Aku bingung, sebenarnya kamu menjadikanku rumah atau hanya persingahan?" Ken dan Jeha, dua manusia berbeda yang mencoba mencari kebenaran. Melalui semesta mereka menitipkan harapan, dipertemukan untuk disatukan atau sebaliknya untuk saling belajar...