Bagian 10 : Sebuah Proses Hijrah (Akhir)

4.3K 209 23
                                    

“Tidurlah. Saya tidak akan melakukannya tanpa persetujuan kamu.”

“Maksud kamu melakukan apa, Mas?”

Aku meneguk ludah. Situasi kian mencekam membuatku sampai keringat dingin. Tatapan mata Reyhan seolah melumpuhkan setiap pertahanan yang coba kubangun setinggi dan sekokoh mungkin.

“Melakukan kewajiban saya sebagai suami.”

Aku menutup mataku beberapa saat sebelum akhirnya melotot ke arahnya. “Coba saja kamu lakukan Mas. Aku akan kabur dari rumah ini dan membuat kamu susah setelahnya.”

Reyhan mengekeh. “Aysha, kamu bukan anak kecil. Untuk apa kabur-kaburan. Saya pastikan kamu tidak akan diterima di rumah, kalau kabur dari saya.”

Memang dia hanya bisa mengancam. Sudah pasti ayah memang akan mengusirku kalau sampai ketahuan aku kabur dan kembali ke rumahnya karena tidak mau diapa-apakan oleh suamiku sendiri.

Namun aku tidak akan tinggal diam, jika dia melakukan pemaksaan terhadapku. “Ya! Gue mau tidur. Jadi Lo bisa gak sih gak usah bikin gue ketar-ketir. Kalau gue udah siap, gue pasti bilang!”

Aku mengutuk keputusanku yang bodoh itu. Semoga saja dia memang tidak tertarik untuk melakukannya denganku. Ya, semoga.
“Oke, deal. Saya akan pegang kata-kata kamu, Aysha.”

Reyhan tersenyum seraya mengelus puncak kepalaku secara mengejutkan. Aku sontak menggeleng kencang agar tangannya berhenti mengusap-usap di sana.

“Tidur, besok subuh kamu tidak boleh kesiangan.”

**

“Aysha, bangun. Ayo kita sholat subuh.”

“Apa sih, Bude. Ay masih ngantuk!”

“Bude?”

Aku langsung membulatkan mata melihat Reyhan tengah menepuk-nepuk pipiku. “Astaga gue pikir lo bude Ajeng!”

“Saya suami—”

“Iya! Gue tau!” kataku setelah membungkam mulutnya dengan telapak tangan. “Kenapa sih lo sering banget negasin. Gak perlu!”

“Ya sudah, cepat bangun dan ambil air wudhu.”

“Iya!”

Padahal rasa kantukku belum hilang, tapi Reyhan tidak akan berhenti membangunkan kalau aku belum benar-benar shalat bersamanya.

“Mas, aku mau tanya sesuatu.”

“Tanya apa?”

“Em, kenapa kita harus shalat lima kali?”

“Karena itu perintah.”

“Oh. Tapi kenapa harus selalu. Kenapa tidak boleh kalau cuman satu waktu saja gitu.”

“Aysha, perintah shalat itu wajib. Diperintahkan shalat lima waktu, maka yang lima waktu itulah yang wajib kita kerjakan, tidak boleh ditawar.”

“Padahal maksud gue, kalau shalat subuh itu gue berat banget. Masih ngantuk. Bisa gak sih, ganti jadwal jadi jam sepuluh pagi aja gitu.”
Aku melihat Reyhan menghela napas. Apa ada yang salah dengan pertanyaanku?

“Shalat pukul sepuluh siang itu namanya Dhuha, nanti saya beritahu kamu caranya shalat Dhuha.”

“Apa?!”

“Kita harus segera shalat subuh. Ngobrolnya nanti lagi.”

Aku hanya bisa mengikuti kata-katanya. Orang ini punya sebuah kekuatan yang kata-kata yang sulit sekali dibantah. Aku saja sangat heran, padahal sikapnya sangat santai. Tapi aku selalu dibuat kehabisan keberanian.

Dijodohkan Dengan Santri (Gus Reyhan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang