Dansa

23 10 0
                                    

Emma berjalan ke atas panggung untuk menerima arahan dari Mr. Taylor. Ia duduk di sebelah Annie dan Christina yang memberikan ruang.

Edward sedang berbincang asyik dengan Luke. Ia sempat melirik Emma yang sedang membetulkan posisi duduknya. Di satu sisi, ia merasa senang akan berdekatan dengan gadis yang ia sukai. Tetapi, di samping itu, hatina tak karuan mengingat sampai saat ini Emma belum juga membalas perasaannya.

Ini akan sulit, batinnya cemas.

Selama hampir dua jam, Taylor menjelaskan semua hal yang perlu dipersiapkan untuk memulai pentas. Mr. William pun sedang menjelaskan secara rinci bagaimana orchestra sekolah akhirnya akan ditampilkan. Ada puluhan siswa yang duduk melingkar mendengarkan Mr. William. Sedangkan Ms. Rowan sudah mengumpulkan anggota klubnya di sanggar sekolah.

Pasti akan menyenangkan, Emma membatin senang.

Taylor mengatakan bahwa pentas kali ini benar-benar dimulai dari nol. Bahkan, kepala sekolah dan semua guru benar-benar mendukung.

"Apa yang harus kalian fokuskan adalah memaksimalkan penampilan kalian. Biarkan hal lain menjadi urusan sekolah," kata Taylor. Anak-anak tentu teramat senang mendengarnya. Taylor pun melanjutkan, "Mr. Jack sedang mencetak naskahnya. Kalian bisa membacanya sampai bel pulang berbunyi. Nah untuk sekarang, aku ingin Edward dan Emma ikut denganku. Ayo." Taylor menyuruh mereka untuk mengikutinya ke ruangan di sebelah panggung. Tampak seperti ruang arsip. Ruang khusus naskah dan kumpulan kertas musik.

Emma mengekor di belakang Edward yang jauh tinggi darinya. Edward begitu cuek sekarang. Begitu berbeda ketika tahun sepuluh kemarin. Mereka bersahabat, tetapi kini mulai saling canggung dan begitu jauh.

"Kalian berdua sangat memadai menjadi pangeran dan Belle," kata Taylor ketika sampai di ruang naskah. "Aku ingin melihat suatu hubungan antara Belle dan Beast begitu menjiwai. Kalian tahu 'kan apa maksudku?"

Emma dan Edward mengangguk. Taylor berkata demikian karena menangkap ada sesuatu yang tidak baik antara mereka berdua. Maka dari itu, Taylor pun ingin mereka bisa profesional ketika pentas dilaksanakan.

"Aku ingin kalian berlatih chemistry," ucap Taylor sembari memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Emma mendongak kaget, Edward pun menunjukkan ekspresi yang serupa. Taylor tersenyum tanpa mengerutkan sudut matanya. "Ayolah. Ini tidak akan buruk. Kalian pasti bisa melakukannya."

Taylor mengeluarkan ponselnya dan menyalakan lagu Beauty and The Beast.

Tanpa perlu diarahkan lagi, Edward dan Emma mulai berhadapan. Mata mereka bertemu. Edward menyentuh sisi pinggang Emma. Ia merasakan sensasi yang menyesakkan dada. Emma begitu cantik. Seketika Edward tidak berkedip lagi. Lekukan wajahnya begitu sempurna. Matanya yang cokelat tampak berkilau. Emma pun memilih untuk menunduk. Tangannya sudah mendarat di atas pundak bidang Edward.

Mereka mulai bergerak pelan ke kanan dan ke kiri, mengikuti irama lagu yang menenangkan.

"Lihat wajahnya, Emma," ucap Taylor.

Emma menengadah. Baru kali ini ia sepenuhnya menyadari, bahwa lelaki di hadapannya begitu tampan. Alisnya yang hitam dan rapih menghiasi kulitnya yang putih dan mulus.

"Perlihatkan padaku bahwa kalian saling mencintai," kata Taylor seraya terus memerhatikan.

Emma dan Edward saling melempar senyum, lalu perlahan menari seiring nada lagu semakin mendekati chorus. Mereka berdua mencoba untuk profesional, walau pikiran mereka berbicara bahwa ini bukan tindakan yang tepat.

Edward seperti terhujam. Inikah yang akan ia hadapi untuk beberapa minggu ke depan? Apakah perasannya harus tertanam lebih dalam lagi?

Gadis ini... Cinta pertamaku...

Edward melihat Emma berputar di hadapannya dengan tangan mereka saling bertaut erat. Lelaki itu kini benar-benar tersenyum, membayangkan bahwa Emma memanglah miliknya. Hanya mereka berdua yang sedang berdansa di tengah lantai mewah sebuah kerajaan.

Emma terus menahan diri untuk tidak membayangkan sosok Edward yang berubah menjadi Tom. Ia berusaha untuk tidak bersedih. Yang menari bersamanya adalah Edward. Bukan Tom. Bukan siapa pun.

Edward, lelaki yang mencintainya begitu tulus walau caranya terlalu berlebihan dan terkadang menyiksanya.

Tetapi, itu Edward lakukan demi dirinya. Gadis yang menjadi cinta pertamanya. Edward sudah banyak berkorban.

Haruskah aku membuka hati untuknya? Bisik suara di kepalanya tiba-tiba. Lalu Emma tiba-tiba menggeleng pelan. Seketika ia tersadar kembali. Edward mengangkat alis, bertanya dengan isyaratnya. Kenapa?

Emma tersenyum semakin manis sebagai jawaban. Tak ada apa-apa. Edward semakin terpesona.

Sedari tadi, Taylor menelan ludahnya dengan berat. Ada sensasi aneh yang timbul di lubuk hatinya. Mengapa melihat dua muridnya melakukan chemistry seperti itu membuatnya sedikit tak nyaman? Bukankah itu yang ia inginkan? Melihat dua tokoh utama saling menjiwai peran yang akan dilakoni?

Di akhir lagu, Edward dan Emma saling berhadapan lebih dekat lagi. Taylor menangkap tatapan Edward yang menatap Emma begitu dalam. Emma yang mulai menangkap hal itu langsung menjauhkan tubuhnya.

Taylor mematikan musik di ponselnya. "Oke, sudah cukup," cegahnya. Edward dan Emma pun saling menjauhkan diri dan menghadap Taylor lagi. Edward menutupi raut mukanya yang sedikit terkejut akan dirinya sendiri. Keadaan pun kembali seperti semula, dimana ada penghalang yang tak terlihat antara Edward dan Emma.

Taylor menganggukkan kepala dan bertepuk tangan. Ia merasa puas atas akting mereka berdua. "Kukira, chemistry kalian sudah memenuhi ekspetasiku. Terima kasih untuk ini, kita akan melanjutkan latihannya besok setelah pulang sekolah," ucap Taylor mengakhirinya dengan singkat.

"Thank you Sir," kata Emma dan Edward bersamaan. Mereka berdua pun keluar ruangan tanpa ada sepatah kata pun lagi yang terlontar, meninggalkan Taylor yang sama-sama tidak mengatakan apa pun setelahnya.

Edward berjalan begitu cepat meninggalkan ruangan, dan menyambar tas juga naskah sekaligus di bangku penonton, lalu refleks pergi. Perasannya begitu tak karuan. Ia malu. Ia ingin keluar dari tempat itu secepatnya. Ingin melupakan kejadian tadi semampu yang ia bisa.

Emma mengambil naskahnya dengan lemas di pinggir panggung. Ada delapan belas lembar, dan tujuh di antaranya adalah dialognya. Ia sangat bahagia bisa memerankan Belle, tokoh putri Disney favoritnya. Tetapi... tiba-tiba ia terkesiap mengingat chat dari Katherine.

Edward sudah kau renggut...

Seharusnya Katherine yang memerankan Belle, bukan dirinya. Katherine sangat berbakat dalam berakting. Bahkan, ia sudah membuat beberapa film pendek di YouTube bersama salah satu channel terkenal.

Lalu, memori berdansa dengan Edward mulai memenuhi kepalanya.

Ternyata, selama ini Katherine pun menyimpan rasa kepada Edward. Astaga... Bagaimana bisa ia sampai tak sadar? Apakah yang lainnya tahu soal ini?

Emma dihantui rasa bersalah. Katherine pasti sedih akan hal ini. Hubungan pertemanan Emma semakin tidak baik-baik saja. Tapi, bagaimana?

"Tidak pulang, Emma?" Taylor berjalan melewatinya yang sedang menunduk menatap naskahnya.

Emma melihat Taylor sedang menaiki panggung, kepalanya menoleh pada Emma seraya tersenyum kecil.

"Sebentar lagi, Sir," jawab Emma ramah. Taylor tersenyum sekali lagi untuk mengakhiri percakapan singkat mereka. Guru seni itu pun pergi ke backstage. Emma pun menggerling ke arah panggung dimana Mr. William masih bersama anggota orchestranya. Emma melangkah pergi dari sana dan mulai mencari Alex keluar ruangan.

Taylor melirik gadis itu yang meninggalkan ruangan. Pertanyaan berkelanjutan hinggap di benaknya.

Apakah Edward dan Emma memiliki hubungan sebelumnya?

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang