Senin, 1 Januari 2021
Pusing, satu kata untuk hari ini. Bagaimana tidak? Tugas berserakan dimana-mana, proposal untuk program kerjaku belum juga tuntas, ditambah lagi ada ujian tambahan untuk mata kuliah filsafat. Hidupku terus berputar di kegiatan yang sebenarnya hanya itu-itu saja, tapi ya namanya kewajiban, otomatis harus aku kerjakan walau berat. Menjadi mahasiswi tingkat dua di salah satu universitas ternama di kotaku adalah sebuah hal yang agak sulit untuk dilakukan, umurku yang masih terbilang muda ini sangat haus akan hal baru, baik akademik maupun non-akademik. Ingin rasanya aku berjalan-jalan dengan teman-teman sebayaku, melihat-lihat tren pakaian masa kini di berbagai pusat perbelanjaan, menonton film layar lebar, atau hanya sekedar makan di kedai yang sedang naik daun, tapi apa boleh buat? Semua hanya berakhir di anganku saja. Detik kalian membaca ini, aku sedang berjalan menuju kantin yang ada di fakultasku. Konon katanya sih kantin fakultasku adalah kantin paling enak di sini, tapi aku rasa biasa saja? Entahlah.
"Ray, propos udah lo pegang kan? Gue cabut duluan ya, biasa hehe," ujar Sheila seraya menepuk pundakku yang dihinggapi tas kain bergambar beruang kutub menggemaskan ini.
"Hah? Kemana lo? Janjinya kemarin mau nemenin gue nyelesain propos, gimana sih!" ujarku sebal sambil memasang wajah marahku.
"Itu loh, lo tau Boyo kan? Dia minta temenin gue ke mall situ, mau cari buku katanya, sebentar doang kokk, janji hehe,"
"Boyo? Si Boyo Aldi? Aldi anak prodi sebelah itu kan? Ngapain ngajak lo coba, bukannya bantuin nanti malah jadi beban"
"Iyaa Aldi itu, ya sekalian mau jalan lah sebentar, siapa tau jodoh. Dadah, duluan yaa!" tutup Sarah sambil berlari meninggalkanku, oh jangan lupa, tentu dengan lambaian tangan dan wajahnya yang dibuat semanis mungkin untuk mendapatkan izinku. Indahnya masa muda teman-temanku, menghabiskan waktu dengan pasangannya, bertukar cerita serta tawa, aku turut bahagia. Aku? Aku juga bertukar tawa dan cerita kok, tapi dengan laptopku, hehe.
Tidak kusangka aku akan berakhir sendirian di kantin yang luas ini. Hari ini sepi, tidak terlalu banyak mahasiswa ataupun mahasiswi yang berlalu-lalang disini. Segera aku memesan segelas es teh manis untuk mendinginkan kepalaku dari teriknya matahari siang ini. Kuletakkan laptopku di atas meja, serta kukeluarkan beberapa lembar kertas rancangan proposal kegiatan yang sudah dirancang oleh teman-temanku. Waktu berlalu begitu cepat, sudah tiga jam lebih delapan belas menit aku duduk disini. Aku masukkan laptopku beserta peralatan yang lainnya ke dalam tas dan mengeluarkan kartu transportasiku yang ada di dalam dompet bergambar kaki gajah itu. Aku beranjak meninggalkan kantin dan menuju ke halte bus yang berlokasi di pintu barat kampusku, jauh memang, tapi tak apalah, hitung-hitung melemaskan kaki yang sedari tadi tertekuk kaku di kantin.
Tin Tin, aku mendengar suara klakson motor dari belakangku.
Jalanan kosong, untuk apa klakson? Dasar manusia zaman sekarang, batinku
"Woi Ray, perlu gue tabrak dulu baru nengok apa gimana sih?"
"Eh Bram, gue kira siapa. Kenapa?"
"Mau ke halte kan lo? Ikut gue aja sini, gue anterin sampe pangkalan ojek deket komplek lo, mumpung searah nih. Buruan, dodol," ujarnya sambil menyerahkan pelindung kepala yang terlihat seperti batok kelapa dibelah dua, tidak ada kacanya pula.
Nada Bramastya yang memaksa ini membuat niatku yang tadinya ingin berjalan ke halte pun pupus. Aku memakai pelindung kepala aneh yang dia berikan dan segera naik ke jok belakang motornya. Begitu merasakan bahwa aku sudah duduk dengan baik, ia langsung melaju mengantarkanku pulang. Lumayan juga kalau Bram antar pulang, aku dapat mengirit ongkos pulang, asal jangan sampai perasaanku berulang.
Cukup, kali itu saja aku membiarkanmu membuatku patah.
KAMU SEDANG MEMBACA
PATAH.
Romancepatah/pa·tah/ terhenti, tidak dapat berlanjut lagi "Hatiku sudah patah, apa masih bisa dipapah, Bram?"