CHAPTER 23

326 59 82
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kim Jiya meloloskan kurva simetris palamarta tatkala Jihwa masuk dalam ruangannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kim Jiya meloloskan kurva simetris palamarta tatkala Jihwa masuk dalam ruangannya. Sempat ingin merenyuk lantaran ia mengira kalau tamu yang dimaksud adalah person tidak jelas seperti insiden wanita Lim tempo lalu, terutama karena Jihwa tidak membuat perjanjian pertemuan terlebih dahulu. Namun, tatkala mama dari paragon perfek itu datang, secara bertahap, emosi Jiya menurun.

Beberapa saat Jiya kompatibel untuk menyesuaikan diri. Kalau dilihat dari bagaimana Jihwa memublikasikan air iras semacam itu dengan citra sandang yang kelewat mewah dan elegan, secara otomatis Jiya punya premis bahwa Jihwa adalah tipikal perempuan yang tidak jauh diferensial dengan Jiya.

Semenjak satu menit pertama, keduanya terdiam. Jiya tersenyum, Jihwa nampak pongah. Kentara betul kalau wanita paruh baya itu enggan memberikan anaknya pada Jiya. Mengingat diktum Jimin soal kedua orangtuanya yang sangat menyukai Yieun dan perlakuan Jihwa tempo lalu yang kelewat merendahkan Jiya, Jiya tahu betul kalau posisinya tidak bagus. Namun, seperti biasanya, kenya yang ekspert berlakon ini membuat atma dan daksanya setenang mungkin.

“Sudah jelas, kan, kenapa aku ke sini?”

Rungu Jiya menyambut leksasi itu dengan baik. Secara bertahap, sensor memengaruhi serebrum dan sontak membuat ujung labium Jiya tertarik lagi. Ia menatap lamat Jihwa yang memberikan tatapan kelewat datar, dan di sekon itu ia akui kalau pinar netra Jihwa sangat mengintimidasi. Barangkali kalau Jiya adalah Yieun, ia akan gentar. Untungnya, Jiya adalah Jiya, kenya yang hobi mengintimidasi person lain yang tak aneh jika ia tidak takut jika diintimidasi. Kecuali sorot netra intimidasi Taehyung tentunya.

Jiya mengangguk absolut. “Menyuruhku untuk meninggalkan Jimin? Kalau benar, jelas sekali kalau kedatanganmu itu sia-sia.” Ia membasahi labiumnya dan memberi jeda sekitar tiga sekon. “Sebentar. Aku harus memanggilmu apa, ya? Nyonya? Mama?”

Memang itu random sekali. Sebetulnya, Jiya tidak peduli soal etika. Hanya saja, ia penasaran soal panggilan apa yang bagus untuk Jihwa—sebagai mama pacarnya sendiri. Dulu, saat Jiya punya afeksi dengan Taehyung, Jiya tidak pernah melakukan tradisi semacam itu sebab pada umumnya Jiya dan Taehyung itu similar, tidak memiliki orangtua. Jadi, Jiya tidak tahu soal cara beretika yang bagus kepada Jihwa.

𝐌ㅡ𝐒𝐢𝐧𝐚𝐭𝐫𝐚 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang