6 - Raka dan Dilema (2)

221 28 1
                                    


Selamat membaca.
Jangan lupa tekan bintangnya.

.

"Saya ulangi pertanyaan dari audiens, 'Pemilihan Kepala Daerah di kabupaten kota X menjadi sengketa karena salah satu calon bupati berkewarganegaraan asing. Atas dasar apa WNA tidak boleh memimpin suatu daerah meskipun separuh usianya dihabiskan di Indonesia daripada negara asalnya?' saya persilakan presentator untuk menjawab."

"Ah, ya ... terima kasih, Moderator."

Gue menggaruk ujung alis. Materi presentasi yang baru saja gue siapkan subuh tadi membuat gue sedikit kebingungan mencari dasar untuk menjawabnya.

Gue akui, perfoma gue kurang maksimal. Isi materi pun banyak yang memberi masukan karena sangat singkat dan kurang lengkap. Belum lagi gue yang kerepotan menghadapi orang-orang yang dengan sengaja melempar pertanyaan tak berbobot yang dia sendiri sudah tahu jawabannya hanya untuk cari muka di hadapan dosen. Namun, kasus yang menjadi pertanyaan terakhir ini memang belum gue ketahui jika masuk urusan hukum perdata dalam tata negara.

Sebenarnya itu pertanyaan mudah. Gue tinggal menjawab tidak boleh karena si calon bupati jelas-jelas bukan warga negara Indonesia. Tapi gue nggak boleh menjawab tanpa tahu peraturan pastinya seperti apa. Ini hukum. Akan dianggap bohong jika tidak ada dalilnya.

"Baik, saya akan mencoba menjawab pertanyaan dari Saudari Pratiwi." Ragu-ragu gue menjawab.

Seisi kelas dengan total empat puluh mahasiswa kompak menatap gue. Pun dengan Pak Dimitri, dosen mata kuliah ini, juga menanti jawaban dari gue. Sial. Heningnya kelas membuat gue mendadak dirundung nervous.

"Jadi ...." Ucapan gue menggantung, masih belum yakin dengan kalimat yang akan gue lontarkan sebagai jawaban.

Satu notifikasi pesan menyembul dari ponsel yang gue letakkan di atas meja-di samping lembar kertas-kertas materi. Dengan berlagak seolah membuka fail jurnal hukum dari ponsel, gue membaca pesan itu. Dari Raka.

Gue mengernyit membaca isinya tentang peraturan pemilu dan persyaratan yang harus dipenuhi sebagai WNI. Spontan, gue mengedarkan pandangan ke seisi ruang kelas, dan mendapati Raka duduk bersidekap di kursi paling belakang tengah membalas tatapan gue dengan datar dan dingin.

Sejak kapan dia di sana? Apa kelasnya sedang kosong?

"Pemateri? Apa ada masalah?" Suara Pak Dimitri yang menceletuk mengalihkan atensi gue.

"Maaf, Pak." Gue setengah membungkuk pada beliau, lalu kembali pada para audiens. "Jadi, dalam Praturan Komisi Pemilihan Umum atau PKPU nomor satu tahun 2020 disebutkan bahwa syarat utama menjadi kepala daerah, baik gubernur, bupati, atau wali kota, adalah harus warga negara Indonesia. Ini landasannya," jawab gue akhirnya, berusaha semantap mungkin agar tak terkesan meragukan.

Tiwi, si penanya, gue lirik tampangnya masih menyiratkan ketidakpuasan. Kemudian gue melanjutkan, "Dan untuk kasus di kabupaten kota X tersebut kenapa masih tidak boleh padahal sudah tinggal lama di Indonesia? Tentu saja, untuk menjadi Warga Negara Indonesia juga harus memenuhi sejumlah persyaratan. Salah satunya harus rela melepas status kewarganegaraan asalnya. Calon bupati di kota X yang kita bicarakan ini sudah mengajukan pelepasan kewarganegaraan, tapi permohonan tersebut tidak ditindaklanjuti oleh kedutaan. Artinya dia masih berstatus warga negara asalnya. Amerika, 'kan?" Sebagian mahasiswa mengangguk, menyetujui. Gue berharap enggak ada sanggahan dari mana pun.

"Waktunya sudah habis. Silakan ditutup saja." Pak Dimitri menginterupsi.

"Sekian presentasi dari saya. Mohon maaf apa bila sekiranya ada kekhilafan atau kata-kata yang kurang berkenan dari saya. Semoga apa yang tadi saya sampaikan bisa mengalirkan manfaat. Selebihnya saya kembalikan pada moderator. Sekian."

Selesai. Presentasi dengan penyampaian buruk akhirnya selesai. Gegas gue merapikan kembali beberapa perlengkapan, kemudian undur diri dan memilih tempat duduk di samping sahabat kampret gue selama tiga tahun terakhir ini. Dia Sukma Melati. Singkatnya, gue panggil Suketi. Beberapa hal yang terjadi belakangan ini membuat gue melupakan kehadirannya.

Satu dari sekian hal yang membuat gue bisa klop dengan Suketi adalah kami yang lebih sering satu prinsip dan sepemikiran. Analoginya, kami bukan tipe yang sudah menarik rem ketika lampu lalu lintas berubah kuning. Tapi kami tipikal yang justru semakin menarik gas pada detik-detik awal lampu merah mulai berhitung mundur.

Ya, kesannya serampangan dan tak tahu aturan. Namun, kehadiran Raka seperti menjadi pengendali agar tidak sampai kebablasan. Hal itu membuat Suketi menyebutnya Rakanebo, karena hidup Raka cenderung kaku seperti kanebo kering.

"Ada Babang di belakang, Dhis," katanya dengan berbisik. Masih ada beberapa menit sebelum kelas berakhir. Pak Dimitri masih menyampaikan beberapa penjelasan tambahan.

"Iye, tahu."

"Auranya sepet banget. Kalian enggak kenapa-napa, 'kan?"

Gue nggak berniat menjawab. Gue memilih fokus-tepatnta pura-pura fokus-pada Pak Dimitri sampai beliau melayangkan salam penutup dan melangkah meninggalkan kelas.

"Suk, kalau gue sama Raka break, lo pastiin nggak ada cewek mana pun yang boleh deketin dia. Termasuk lo," kata gue sukses menerbitkan kerutan pada kening Suketi.

Namun, beberapa detik setelahnya, gadis berambut bob sebahu di sebelah gue ini terkekeh-kekeh, semacam menyangsikan makna tersirat di balik ucapan gue.

"Gue yakin, lo nggak sebego itu melepas si Rakanebo."

Kali ini gue yang terkekeh. "Lets see." Mungkin saja gue memilih menjadi bego.

"Suk, kelas setelah ini Dhisty izin, ya."

Gue mendongak, menatap Raka yang sudah menarik lembut lengan gue. Otomatis gue berdiri sambil menaikkan tote bag ke bahu, lalu melambaikan tangan singkat pada Suketi sebelum mengikuti langkah lebar Raka yang membawa keluar kelas.

Seperti semalam, mimik wajah Raka masih dingin, datar. Bahkan dengan menggandeng lengan gue sampai meninggalkan gedung fakultas, kemudian ke arah parkiran mengambil motor Raka, lalu melaju sekitar lima ratus meter dari pintu masuk area kampus, dan berhenti di salah satu kafe, dia masih diam saja.

Please, Ka, say something. Gue enggak suka didiamkan begini. Lebih tepatnya, gue agak takut.

"Dhis? Kamu nggak mau bilang sesuatu sama aku?" tanyanya setelah beberapa saat seorang waiter perempuan mengantarkan dua cup ice cappucino pesanan kami.

Gue menggigit bibir. Intonasi lelaki di depan gue yang tak sehangat biasanya sedikit menyinggung perasaan gue sebagai pacar.

"Raka."

Sejenak gue diam. Masih menimbang-nimbang apakah saat ini adalah waktu yang tepat untuk bicarakan semua, kemudian melepas Raka demi kebaikan hidupnya. Enggak apa-apa, biar gue yang berkorban. Biar perasaan gue yang yang harus dikalahkan.

"Ka, lets break up."

Raka langsung memegang kepala, memijitnya pelan. Terdengar helaan napas panjang darinya.

"Jangan bercanda. Nggak lucu!" katanya datar. Kepalanya masih menunduk dengan dua tangan yang menyangga.

"Sorry, aku duluan. Hari ini kuanggap kita nggak pernah bicarain hal ini."

Setelah mengatakan itu, Raka beranjak dari kursinya, meninggalkan gue di kafe ini dengan segala macam perasaan yang tentu. Jadi ... hubungan ini belum bisa berakhir seperti yang gue harapakan?

Dering ponsel yang nyaring spontan membuat gue tersentak dari lamunan.

"Oi, di mana lo?" tanya Suketi, tepat setelah gue terima teleponnya.

"Why?"

"Rakanebo nyuruh gue jemput lo.".

Ah, Raka ... dia masih sepeduli itu.

______________
Bersambung. ☕

See you.

The Freaky WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang