Sebuah Rencana

11.6K 570 4
                                    

Aku yakin itu pasti selingkuhannya, Mas Bram. Hem, kuakui modis dan cantik memang, sangat berbeda jauh denganku. Apa cuma karena make up? Ah entahlah, yang jelas aku harus jaga jarak jangan sampai Mas Bram melihatku.

Aku sudah tidak konsen mencari tas yang kumau, dan hanya berpura-pura memilih-memilah karena terus mengawasi pergerakan Mas Bram dan perempuan itu, tanganku tak sengaja meremas tas yang kupegang karena geram melihat kemesraan mereka, hingga membuat Mas Bram melihat kearahku. Namun, aku segera berpaling agar tidak ketahuan.

Kulihat mereka melangkah menuju kasir, Sepertinya mereka sudah menemukan barangnya. Lalu, kemudian pergi lagi sepertinya ada yang ketinggalan.

Aku tidak boleh diam, dan harus melakukan sesuatu. Aku segera memanggil Nisa, menyuruhnya untuk membeli tas yang sama seperti perempuan itu, jika perlu bayar dua kali lipat.

"Maaf, Mbak model tas seperti ini stoknya terbatas dan hanya tinggal ini, dan Mbak itu sudah lebih duluan," ucap kasir perempuan itu dengan ramah pada Nisa. Aku sengaja berdiri agak jauh dari Nisa, tetapi masih bisa mendengar percakapan mereka.

"Tapi, Mbak bos saya sangat menginginkan tas model itu." Nisa terus mendesak.

Nisa pun segera memberikan sebuah kartu entah kartu apa, sehingga perempuan yang menjadi kasir itu seketika berubah aura wajahnya dan segera mengangguk.

Mas Bram dan perempuan itu kembali, dan akan melakukan pembayaran di kasir kudengar, kasir perempuan itu minta maaf.

"Maaf, Mbak ternyata tasnya sudah ada yang pesan dan membayar dua kali lipat dari harganya,"

"Gimana sih, saya, 'kan lebih duluan dan sudah langganan beli di sini?" ucap perempuan itu dengan nada kesal.

"Sekali lagi kami minta maaf, Mbak karena cucu keluarga Lastri sangat mengingnkan tas itu, dan kami tidak bisa menolak." Wow sebesar itukah pengaruh keluarga besar Oma Lastri. "Bagaimana kalau, ganti dengan model yang lain saja, Mbak bebas pilih model yang mana saja dan kami akan memberikan diskon !" bujuk kasir itu meyakinkan.

Perempuan dengan bulu mata lentik anti badai tersebut masih tak terima, dan terus mengoceh. Mas Bram terus membujuk, agar wanitanya itu bisa terima.

Masih dengan wajah kesal perempuan itu akhirnya luluh, dan menerima tawaran kasir tersebut. "Ya sudah saya pilih yang paling mahal dengan diskon 50 %," ucapnya sesuka hati, membuatku ingin tertawa karena ucapannya. Namun, tentu saja kutahan.

Mas Bram pun mengeluarkan kartu kredit dari dalam dompetnya membuat dadaku seketika terasa nyeri. Seroyal itukah Mas Bram dengan perempuan itu, sementara denganku ...? Mengingatku itu membuatku terasa nelangsa. Aku yang istri sahnya malah diperlakukan tidak adil.

Wait!

Melihat itu membuatku mengingat sesuatu, kartu ATM Mas Bram, masih ada padaku. Segera mengeluarkannya dalam tas, dan berniat untuk mengeceknya.

Setelah Mas Bram dan perempuan itu pergi aku kembali menghampiri Nisa dengan perasaan tak karu-karuan, anatar kesal dan marah melihat Mas Bram dan su*dalnya.

"Apa masih ada yang ingin, Ibu beli?" tanyanya ramah. Aku tidak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya, ternyata uang bisa mengubah seseorang. Seandainya, Oma bukan orang kaya mungkin aku tidak akan diistimewakan seperti ini.

"Tidak, lebih baik kita segera pulang. Tapi, sebelumnya saya perlu ke ATM," jawabku.

"Baik, Bu!" jawabnya.

Aku mengamati Nisa, sepertinya usianya tidak beda jauh denganku.

"Tidak usah panggil, Ibu panggil saja Naya," ucapku.

"Tapi ...?" Kalimatnya menggantunh karena aku sudah memotongnya.

"Aku lebih suka kalau kamu panggil, Naya saja!" tegasku.

"Bagaimana kalau, Mbak Naya saja? Saya tidak enak kalau harus panggil nama langsung," jawabnya.

"Terserah saja, asal jangan panggil Ibu," tegasaku.

"Baik, Bu. Eh, Mbak Naya!" jawabnya kikuk.

Aku tersenyum mendengar jawabannya, kami pun segera masuk ke dalam mobil dengan beberapa barang belanjaan.

"Nisa," panggilku.

"Iya, Bu. Eh iya Mbak Naya, ada apa?"

"Ini tasnya buat kamu!" Aku menyerahkan tas yang tadi kami beli.

"Eh, benaran?" tanyanya tak percaya, namun sekaligus terlihat bahagia. "Tapi, bukannya tadi, Mbak Naya sangat ingin tas ini?" tanyanya penasaran.

"Iya tadi, sekarang aku berubah pikiran," kilahku. Aku sama sekali tidak tertarik dengan model tasnya, tetapi aku melakukan itu hanya karena kesal melihat perempuan itu bersenang-senang dengan suamiku.

"Terima kasih, Mbak," jawabnya senang, entah kenapa tas yang terlihat biasa saja itu harganya sembilan jutaan, sangat mahal menurutku namun aku rela membayar dua kali lipat demi membuat selingkuhan Mas Bram kesal.

"Pak nanti berhenti di ATM depan ya!" ucap Nisa mengingatkan pada pak Rudi.

"Baik, Bu!" Mobil pun perlahan meninggalkan pusat perbelanjaan, aku sengaja meminta ke ATM yang tidak banyak antriannya.

Tiba di depan ATM, aku segera turun dan buru-buru mengecek ATM Mas Bram seperti dugaanku ternyata ATMnya sudah terblokir, sialnya aku baru memindahkannya belum ada setengahnya.

Mas Bram pasti sudah mengganti ATMnya dengan yang baru, dan sudah mengetahui kalau hilangnya ATM kemarin adalah akal-akalanku saja, aku menggigit bibir menyadari kebodohanku, bagaimana ini?

Aku pun segera keluar dengan perasaan lemas, karena harus menerima kenyataan pahit gara-gara kelalaian dan kebodohanku. Jika sudah begini mau bagaimana lagi itu artinya, Mas Bram sudah tau semuanya.

"Mbak, Naya gak apa-apa?" tanya Nisa khawatir melihatku berjalan dengan gontai.

Aku menggeleng pelan. "Aku baik-baik saja," ucapku sembari memaksa untuk tersenyum. "Ayo kita pulang!"

Kami pun segera pulang, tiba di rumah aku segera masuk.

"Mbak, belanjaannya taruh di mana?"

Astaga, aku hampir saja lupa gara-gara sibuk memikirkan, Mas Bram dengan selingkuhannya beserta isi ATM Mas Bram yang raib.

"Taruh saja di kamar!" Aku menunjuk ke arah kamarku yang terletak di lantai dua.

Pak Rudi pun segera melangkah menuju lantai dua dan meletakkan semua barang belanjaan ke atas tempat tidur.

"Terima kasih, Pak," ucapku.

"Sama-sama, Mbak kalau begitu saya pamit!"

Aku hanya mengangguk mengiyakan ucapan Pak Rudi.

Lalu menuju kamar, Oma di sana kulihat sudah ada Nisa menemani Oma, mereka begitu terlihat akrab, nampaknya Nisa orang kepercayaan Oma.

Melihat kedatanganku Oma tersenyum. "Gimana, Nak belanjanya tadi apa kamu sudah membeli semua kebutuhanmu dan Rania?"

"Sudah, Oma. Terima kasih, Oma." jujur aku masih canggung.

"Terima kasih buat apa? Sudah seharusnya kamu mendapatkan semuanya, karena mulai sekarang harta Oma juga milikmu," jelas Oma. "Besok, kita ke kantor. Sebelum itu kita ke salon dulu," Oma kembali mengingatkan.

"Nis, besok kamu juga ikut, temani Naya ke salon dulu!"

"Baik, Bu!"

"Oma, setelah dari kantor, Naya boleh izin pulang ke rumah Mas Bram?" tanyaku. Oma hanya mengangguk mengerti statusku masih sebagai seorang istri.

Aku tersenyum memikirkan rencana yang sudah kususun dalam pikiran. Baiklah Mas! Bersenang-senanglah dengan selingkuhanmu, tunggu aku kembali dan kejutan dariku!

MEMBUAT SUAMI MENYESALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang