Dion tersenyum nanar. "Gunting dalam lipatan. Kenapa, Ael?"
"Karena ibu lo pembawa sial."
Pemuda dengan tinggi 180 cm itu langsung menegakkan tubuhnya saat mendengar sesuatu yang berhubungan dengan ibunya.
Rafael mendudukkan diri di kursi samping brankar. "Hidup gue damai sebelum umur sepuluh tahun." katanya memulai cerita.
Seorang bocah termenung di kamarnya, ia merasa sangat terpukul atas kepergian ayahnya dua hari lalu. Rafael kecil tak berniat menyalahkan siapapun, anak itu tahu bahwa segalanya telah diatur oleh Tuhan.
Dua hari yang lalu, ayahnya pergi untuk selamanya. Pria setengah baya yang baik hati itu mengembuskan napas terakhirnya saat berada di rumah sakit.
"Ayahmu orang baik, Rafa. Tuhan sangat sayang padanya," kata dokter lemah.
"Dia menyelamatkan seorang wanita dari kebakaran toko tiga hari yang lalu, tetapi wanita itu meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Ayahmu sangat kuat hingga bisa bertahan sampai hari ini."
Rafael kecil tahu, itu adalah saat terakhir ia melihat ayahnya, pahlawannya, panutannya, pelindungnya, dan segalanya bagi Rafael.
Sejak hari itu, bocah tampan itu mulai murung dan jarang tersenyum. Tentu ibunya khawatir, ada penyesalan yang bersemayam abadi dalam hati kecilnya.
"Ayahmu mungkin masih hidup sampai sekarang, jika saja dia membiarkan wanita itu terbakar."
"Kebakaran itu musibah, Bun."
"Enggak, Rafa. Api itu cuma diperintahan untuk membakar wanita itu. Dia, ibunya Dion, sahabat barumu. Kebakaran waktu itu adalah hukuman untuknya. Wanita itu pembawa sial bagi keluarga kita."
"Kenapa begitu?"
Bunda Rafael hanya menggeleng. "Kesalahannya terlalu fatal untuk dimaafkan." ungkapnya.
Bunda Rafael mulai menyiapkan makan siang untuknya dan putra tunggalnya. Ia tak tega membebankan fakta ini pada Rafael kecil, tetapi ia juga tak bisa menyimpannya sendirian.
"Kesalahan apa, Bun? Kenapa harus mamanya Dion?"
"Kamu masih terlalu kecil." Wanita yang dipanggil bunda oleh Rafael itu terkekeh. "Berteman baik dengan Dion, ya."
Rafael kecil mengangguk patuh. Ia dan Dion sama-sama kehilangan satu orang tua, mereka harus saling menguatkan, pikir bocah itu.
Bunda Rafael tersenyum simpul, tangannya terulur untuk mengusap kepala anaknya. Segalanya akan baik-baik saja.
Hari berlalu sangat cepat. Rafael sudah memasuki dunia putih-biru, segalanya berubah dari waktu ke waktu. Termasuk bundanya.
"Kamu harus bisa lebih dari Dion. Jangan sampai kalah apalagi mengalah!" perintah bundanya.
"Kenapa begitu?"
"Dion adalah anak dari wanita pembawa sial, wanita yang menyebabkan ayahmu pergi."
Lantas, mengapa? tanya Rafael dalam hati.
"Kepergian ayahmu sia-sia, Rafa. Jadi, kamu harus membuat Dion membayar segalanya."
Remaja kelas tujuh SMP itu berkedip. "Gimana caranya?"
"Dengan menjadi lebih unggul dari anak itu."
Rafael masih tak mengerti, apakah Dion harus membayarnya dengan nilai di setiap mata pelajaran? Rasanya bukan itu maksud bundanya.
"Demi ayahmu."
Remaja itu sontak mengangguk, apapun demi mendiang ayahnya. Dan bundanya kembali mengusap kepalanya penuh kasih sayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dion [TAMAT]
Teen Fiction#Pain1 Semesta yang menolak memberi senyum dan kisah yang hanya ingin berakhir dengan kepedihan. - - - - - Dion Revalino Adhitama, cowok dingin yang terbiasa berkata pedas. Namun, tiba-tiba meminta maaf atas ucapannya pada orang asing. Sebegitu besa...