5 - bias

509 83 25
                                    

"DI per-fandom-an K-Pop, ada teori yang bilang: bukan lo yang pilih bias, tapi bias yang milih lo." Lydia menyendok es krim stroberinya. "Dalam kasus gue, Jimin adalah member BTS yang kali pertama narik perhatian. Di bulan-bulan pertama, gue selalu bilang Jimin adalah bias gue, sampai kemudian mereka rilis DNA buat comeback dan, oh my God, Min Yoongiii!"

"Yoongi itu... SUGA?"

"Yes, Ethan, lo kayaknya udah mulai hafal sama nama-namanya. Anyway, lo mau tahu kenapa Yoongi 'memilih' gue sebagai pengikutnya?"

Sesi makan siang hari ini Ethan lewatkan bersama Lydia di salah satu gerai es krim sekitar gedung kantor. Dia sengaja mengajaknya keluar setelah menyimak lagu-lagu BTS rekomendasi Grace. Menyadari kemajuan pesat tersebut, Lydia mengiayakan ajakan Ethan, bahkan membayar santap siang mereka.

"Lo ngulik BTS dalam rangka PDKT sama Grace?" tanya Lydia sesampainya mereka di kantor. Selain mereka, ada dua staf lain yang sudah kembali dari makan siang. "Soalnya udah setahun lebih lo di sini, kerja selantai sama kita, tapi baru sekarang tertarik pengin ngulik soal K-Pop."

"Hei, aku pernah liput konser EXO waktu masih jadi freelancer." Ethan tak mau dikatai modus karena hal ini. "Aku benar-benar tertarik, karena lagu-lagu yang Grace kasih kemarin ternyata cocok sama seleraku. Selama ini aku cuma tahu lagu-lagu populernya aja."

"Dih, setiap hari gue sering muter lagu BTS yang kurang mainstream juga."

"Tapi aku enggak tahu judul-judulnya, Lydia." Pintu terbuka, Ninit dan Bayu—dua rekan kerja Lydia dari divisi K-Pop—melambaikan tangan pada mereka. "Soal bias, aku penasaran sama cara kerjanya. Kirain cuma milih anggota yang satu frekuensi sama kepribadian, ternyata bisa sekompleks itu, ya."

Obrolan tersebut tak sempat dilanjutkan karena keduanya harus meneruskan pekerjaan. Ethan baru membuka kotak masuk email saat ponselnya berdenting dua kali. Notifikasi WhatsApp dari Grace. Rasanya seperti sudah berminggu-minggu mereka tak bertatap muka, padahal baru kemarin mereka melewatkan waktu bersama.

Punggung Ethan berdesir. "Astaga," bisiknya, lalu cepat-cepat mengulum bibir untuk menahan tawa. Kapan kali terakhir dia berpikir seperti remaja yang sedang kasmaran?

[Grace] Weekend ini aku ke Jakarta. Ada tugas.

[Grace] Kamu bakal ke Bandung atau stay di sana?

Akhir pekan ini memang jadwal Ethan pulang ke Bandung. Namun, setelah impulsif menemui Grace dua hari lalu dan mendapatkan kabar ini, mana mungkin dia akan melewatkan kesempatan bagus untuk bertemu.

[Ethan] Harusnya pulang, tapi jadwalku fleksibel.

[Grace] Dev enggak bakal tanya-tanya?

[Ethan] Dia pernah absen ketemu aku dua tahun. Enggak apa-apa.

Mata Ethan bolak-balik menatap layar laptop dan ponsel sebelum menerima pesan baru dari Grace. Alright, let's meet up on Sunday? My place or yours?

My place or yours? Bukan mau di kafe atau restoran atau showcase atau konser. Grace menganggap serius tawaran Ethan. Gadis itu tak mengenal langkah setengah-setengah.

[Ethan] Tempatku kecil, sih, apartemen tipe studio.

[Grace] I'm fine with that. Just share your location.

"Tan, lo baik-baik aja?" Ethan nyaris menyenggol gelasnya saat mendapati Ninit berdiri di deoan kubikel. "Dari tadi gue sama Bayu lihatin lo enggak bisa diem di kursi. Lagi sembelit?"

Ethan menggeleng. Sebaiknya dia menelepon Grace saat jam pulang kerja. "Omong-omong, Lydia beres rapat pukul berapa?"

"Katanya beres rapat bakal langsung cabut ke Kemang. Ngeliput press con."

State of GraceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang