HOPE: 1

7 1 9
                                    

1: Pertemuan

Bel tanda akhir pelajaran memang tak pernah gagal untuk membuat suasana sekolah yang suram menjadi riuh dalam hitungan detik. Guru keluar, murid bersorak. Selalu seperti itu.

Ditengah ramainya kelas XII IPA 2, seorang gadis berparas cantik terlihat duduk dengan tenang di pojok kanan belakang kelas. Ia hanya memandang keluar jendela tanpa berkata apa-apa, tampak sama sekali tidak peduli dengan kerusuhan seisi kelas yang mulai berhamburan keluar.

Elise Charissa Madana, gadis yang dikenal di sekolahnya dengan label cantik nan pintar namun dingin itu baru berdiri dari bangkunya setelah kelas sudah kosong. Ia menyambar tas punggung hitamnya, lalu berjalan santai keluar kelas. Elise yakin kebanyakan anak-anak yang lain pasti sudah berpencar di luar area sekolah, memandangkan dirinya yang memilih untuk tinggal sedikit lebih lama di dalam kelas dan menunggu sekolah sepi sebelum keluar.


Menjadi seorang remaja perempuan di bangku SMA yang hidup seratus persen mandiri memang bukan suatu hal yang mudah, tapi Elise tidak masalah dengan itu. Toh, dirinya juga tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengubah hidupnya sekarang.

Gadis itu sudah terbiasa hidup sulit. Tidak ada gunanya mengeluh lagi. Tapi yang pasti, Elise tidak apa-apa. Dia selalu yakin akan hal itu.

Setelah berjalan sekitar 45 menit, langkah Elise akhirnya terhenti di depan Sweet Scent Cafe--;sebuah kafe yang berukuran relatif kecil, memberikan bangunan itu kesan sederhana dan nyaman.

Inilah tempatnya bekerja untuk sekedar memenuhi semua kebutuhan pokoknya. Terbiasa hidup seadanya-- bahkan bisa dikatakan berkekurangan-- sejak kecil membuat Elise tidak pernah peduli ataupun merasa ingin akan kebutuhan tambahan yang tidak perlu.

Suara dentingan bel terdengar seiring dengan dibukanya pintu kafe. Spontan, Elise menghela nafas perlahan saat melihat keadaan kafe yang tidak terlalu ramai. Meski tampak acuh tak acuh akan sekitar, Elise sebenarnya sangat tidak suka dengan tempat-tempat ramai. Sudah pengap, telinga pekak pula.

"Siang, Elise," seperti biasanya, salah satu rekan kerja Elise sebagai barista --- Maulidio Arsena Wijaya, langsung menyambutnya dengan sapaan sederhana disertai senyum tipis begitu ia tiba di area dapur. Seperti biasanya juga, Elise hanya membalas singkat, "Siang."


Setelah interaksi yang singkat dan datar itu, keduanya langsung memilih untuk menyibukkan diri dengan kegiatan masing-masing sebelum suasana menjadi canggung. Dio kembali pada kegiatannya mengaduk kopi, sementara Elise pergi ke lemari belakang untuk mengambil apron miliknya.

Keadaan dapur yang kosong membuat Elise bisa menyimpulkan bahwa Dio mungkin sedang mengantarkan minuman kepada pelanggan. Kakinya melangkah bergantian ke depan meja yang penuh dengan berbagai macam bahan dan alat untuk pembuatan minuman, mulai dari bubuk kopi sampai dengan blender.

Kedua matanya kini terfokus pada lembaran-lembaran sticky notes kecil yang direkatkan dengan selotip di pinggir meja tersebut. Ternyata suasana sepi kafe yang Elise lihat tadi tidak bisa dijadikan tumpuan untuk menimbang-nimbang banyaknya pekerjaan hari ini. Karena nyatanya, sebagian dari daftar pesanan ini bertuliskan take-out. yang artinya pesanan-pesanan ini dipesan lewat telepon dan akan diambil oleh pemesannya dalam beberapa saat kedepan. Bahkan jika Elise lihat-lihat, jumlahnya kira-kira sebanding dengan jumlah pesanan biasa.

Lagi-lagi, Elise hanya bisa menghela nafasnya pelan. Well, let's just get these things over with.

---

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 26, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HOPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang