CHAPTER [19] : Berbeda atau sama?

119 31 0
                                    

Ia melangkah dengan gontai, hari yang cukup mengurus energi. Membuka pintu sebuah rumah yang cukup berumur itu, lalu melepas alas kakinya setelah itu berjalan menuju singgasana, kamar.

Tanpa menyadari saat ia melewati ruang keluarga ada sepasang mata yang menunggunya pulang, ralat, hanya kemungkinan.

Sampainya ia dilantai dua, membuka pintu kamarnya agar bisa langsung berbaring dikasur, namun hal pertama yang ditemukannya adalah keadaan kamar yang berantakan.

Semua foto-foto hasil jepretan nya robek dan berserakan dilantai, mau dari ukuran yang kecil hingga terbesar semuanya terlihat rusak parah. Ia mendapati polaroid serta poster bergambar idolanya juga di rusak demikian.

Di dekat rak bukunya tampak sebuah kotak sedang yang telah ditutup rapat menggunakan isolasi, tetapi ada yang lebih menarik perhatiannya yaitu rak buku paling atas tempat kamera miliknya.

Winter dengan segera mengambil kamera polaroid dan DRC (Digital rangefinder camera) miliknya yang telah sengaja di rusak. Begitu juga dengan PS5 yang berada dibawah rak televisinya.

Matanya menyalak kaget, emosinya mulai naik ditambah lagi kedatangan seseorang yang merupakan dalang dari semua ini.

"Buang semuanya."

Evan berada di ambang pintu, sambil melipat tangannya di depan dada, menatap punggung Winter yang tengah menahan amarah.

"Foto, polaroid, poster, novel, PS dan kamera-kamera milik kamu itu tidak ada gunanya. Semua benda itu membuang-buang waktu!" Tegas Evan.

"Buang-buang waktu?" Tanya Winter tanpa berbalik sekalipun.

"Iya, buang semuanya, barang-barang itu enggak berguna sama sekali."

"Gak berguna?" Tanya Winter, bahunya bergetar menahan luapan emosi.

"Tapi papa gak berhak buat ngehancurin semuanya!" Tukas Winter sebelum Evan menjawab pertanyaannya.

"Apa salahnya aku punya kamera? Novel? PS? Dll?!"

"Salah Winter! Gak usah foto-fotoan! Kamu lebih bagus belajar komputer tentang saham kek atau apa pun yang lebih berguna untuk perusahaan!" Tegas Evan sekali lagi.

"Cita-cita aku fotografer! Bukan pengusaha!"

"WINTER!" Geram Evan.

"Kamu berani melawan saya sekarang!? Dasar anak pembangkang, kapan kamu bisa berubah?! Saya masukkan kamu ke sekolah yang bagus untuk meneruskan bisnis! Bukan menjadi seorang fotografer!"

"Turuti perintah saya, kalau tidak mau silakan keluar dari rumah ini. Dengan syarat, semua pengeluaran biaya hidup kamu di rumah ini harus di bayar kembali!" Tetap Evan, melangkah pergi dengan kasar.

Setelah kepergian Evan barusan, Winter membringsut terduduk diam dilantai kamarnya, hatinya begitu sakit mendengar ayahnya sendiri dengan tega mengusirnya secara halus. Winter ingin sekali keluar dari rumah ini, tapi ia tidak punya uang dan siapa-siapa, bekerja paruh waktu bahkan tidak mungkin ia lakukan.

Mengganti semua biaya hidupnya? Bukankah itu sangat kejam, kepada anaknya sendiri meminta kembali biaya-biaya yang telah di keluarkan.

⚛⚛⚛

Rian heran setelah mendengar ucapan ibunya barusan, lawan bicara yang berada di hadapannya ini terus mengomel sedari tadi.

"Nilai kamu menurun akhir-akhir ini, bahkan lomba pidato aja kamu dapat peringkat tiga? Biasanya pasti kesatu atau dua." Ucap Ibunya.

"Pidato itu kan dadakan, Ma!" Balas Rian.

"Ya, mau dadakan pun harusnya kamu bisa dong. Kenapa bisa begini? Apa karena teman-teman mu itu?" Tanya Ibunya penuh selidik.

GENG BRANDAL [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang