Terbanglah Balon Biruku

13 1 0
                                    

Terbanglah Balon Biruku

Aku gadis kecil berumur 13 tahun dan harus menderita dengan penyakitku ini. Penyakit itu yang membuatku menyerah untuk melanjutkan hidup. Kanker. Kanker, merupakan salah satu penyakit yang mematikan. Setiap harinya aku dikejutkan dengan berbagai peristiwa aneh. Mulai dari batuk-batuk, cepat lemah dan sering terjatuh.

Aku, Farine Regina. Pecinta warna biru, suka menerbangkan balon-balon indah itu ke langit dan melukiskan peristiwa penting dalam hidupku di buku harian. Menurutku menerbangkan balon adalah kebiasaan yang unik dan aneh tapi seru. Sehari aku bisa menghabiskan 5 sampai 7 balon biru dan aku harus berbelanja buku harian setiap minggunya.

Aku juga punya seorang sahabat. Namanya Refan. Dia laki-laki, yang bisa di ajak bercanda, lucu, dewasa dan selalu mengerti keadaan. Dia sahabat kecilku hingga sekarang. Tiada kehadirannya seperti satu jiwa tapi tidak mempunya hati. Karena itulah kami sering bermain bersama. Tetapi kini keadaanku tidak menyakinkan.

Aku berubah, yang dulunya periang kini pemurung. Walaupun sekarang aku penyakitan, bagi Refan itu tidak masalah. Ia tetap pada pendiriannya. Selalu menemani apapun keadaannya. Ia memang sahabat terbaikku yang pernah kukenal. Pernah aku bertanya padanya sebelum aku sakit, "Apakah kamu akan meninggalkanku ketika sakit?" Refan langsung menjawabnya "Tidak akan pernah," aku pun tersenyum.

Cahaya menembus kaca bening kamarku, semilir angin sejuk berhembus mulai menusuk jiwaku dan seseorang terseyum manis di sebelahku. Dia belahan jiwaku, Mamah. Mamah sudah menyiapkanku susu putih hangat, roti panggang dan obat. Sekarang aku tergantung dengan obat, obat bagaikan nyawa keduaku.

"Kalau kamu mau jalan-jalan bilang Mamah ya," kata beliau.
"Pasti Mah," ucapku seraya memeluknya hangat.

Aku keluar dari kamarku dan menuju teras depan rumah. Biasanya pagi-pagi Refan sudah ke rumahku untuk diajak jalan-jalan. Tetapi sekarang kok tidak. Kemana dia? Tanyaku dalam hati. Mamah melihatku di jendela dengan penuh air mata. Setiap harinya beliau selalu menangis bila lagi sendiri. Entah karena penyakit ini yang membuat tetes-tetes air terus tumpah dari pelupuk matanya.

"Pagi... bidadari kecil!" sapa Refan yang tiba-tiba muncul dengan membawa sebuah balon.
"Refan... kemana saja kamu? Aku sudah menunggu," aku melambaikan tangan.
"Maaf ya, tadi aku membantu nenek-nenek menyebrang jalan," ucapnya jujur.
"Oh, jadi itu kamu datang terlambat" kataku menyelidiki.

Mamah keluar dari balik persembunyiannya sambil mengahapus air mata di pipinya. Refan segera menyalimi Mamah dan meminta untuk diinzinkan di ajak jalan-jalan. Aku sangat senang karena Mamah selalu percaya Refan untuk menjagaku. Akhirnya aku dan Refan sepakat mengunjungi taman kota. Di sana banyak sekali bunga-bunga indah. Bunga mawar tentunya.

"Sudah bawa buku harian dan pulpen biru?" tanyanya mengingatkanku.
"Sudah," jawabku singkat.
"Cokelat?" dia mulai menanya yang aneh. Alisku naik sebelah.
"Buat apa? Kita kan nggak suka bawa cokelat," sergahku.
"Buat aku dong. Itukan bayarannya aku menjagamu," ucapnya sambil cekikikan.
"Jadi nggak ikhlas nih?" aku memancingnya.
"Bercanda doang kok. Cepet marahan... cepet tuanya lho," katanya lagi.

Aku langsung manyun diiringi gelak tawanya. Akhirnya kami telah sampai, bau bunga mawarnya telah tercium... harum sekali. Refan langsung memetik salah satu bunga yang sudah mekar dengan warna yang sangat merah. Ia menyuruhku menuliskan sesuatu di buku harianku. Menuliskan tentang pagi hari ini bersama sang sahabat.

"Sudah belum nulisnya?"
"Bentar lagi,"

Setelah aku selesai menulis, aku robek kertasnya dan di gulung menyerupai huruf o. Lalu diikatkan dengan benang balon dan bunga mawar itu di selipkan diantara benang dan kertas. Selidik punya selidik, Refan ingin tahu apa yang barusan tadi aku tulis. Dengan terpaksa aku memberitahukannya. Dia suka memaksa tetapi tidak suka dipaksa.

Terbanglah Balon BirukuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang