"Diduga menjadi korban perundungan, seorang siswi SMA nekat menjatuhkan diri dari atap gedung—"
"Hingga kini, Ibu dari siswi SMA yang bunuh diri di kota Mekar Sebelas masih tak percaya jika putri tunggalnya—"
"... peristiwa tersebut menambah daftar kasus bunuh diri di SMA Noesantara sejak beberapa tahun terakhir. Hal ini menjadikan SMA Noesan—"
Layar televisi berubah hitam sebelum seorang membanting kasar sebuah benda pipih ke atas meja. Laki-laki berkacamata itu melonggarkan dasi abu-abu gelap bergaris yang melingkari lehernya. "Sudah lewat satu minggu. Apa tidak ada berita lain?"
"Sudah kubilang, mulai sekarang berhenti menonton TV!" lontar seorang perempuan di tengah-tengah ruangan, lalu kembali menenggelamkan wajah di antara lengan-lengannya.
"Ayolah anak-anak!" seru seseorang di dekat pintu. "Di mana jiwa-jiwa ambisius kalian? Aku merindukannya."
Tiga belas orang dalam ruangan itu hanya menatap datar laki-laki kurus di sana.
"Kapan soal biologi diberikan?" tanya seseorang dari meja paling belakang.
"Jam kedua nanti," balas Felix dengan mata yang masih menatap buku di tangannya.
Seketika atmosfer kelas berubah drastis. Semua tampak serentak membuka buku mereka masing-masing. Mata mereka seolah terkunci pada satu titik demi meneliti setiap lembar tumpukan kertas tersebut. Bahkan sesekali mencatat bagian penting dari setiap hal yang mereka baca. Tak ada yang ingin mendapat nilai buruk, karena itu hal yang memalukan bagi kelas mayor.
"Tradisi kuno yang lebih baik ditinggalkan," lirih Rei.
Rei duduk di meja nomor dua dekat jendela. Itu area favoritnya. Ia menutup sebuah novel lalu melihat pemandangan kelas dengan alis bertaut. "Aku heran dengan kalian ...."
Konsentrasi mereka sedikit goyah dengan pernyataan laki-laki itu.
"Tidak, tidak perlu menatapku." Rei tersenyum hingga menampakkan cekungan kecil diujung bibirnya. "Tetap saja fokus dengan pena dan buku kalian, cause it's your job."
Qilla tampak tak terima. "Maksudmu apa, Rei?"
Rei menggebrak pelan sebuah meja sekaligus membantunya berdiri. "Begini, beberapa menit yang lalu kalian mengeluhkan tentang berita TV yang membuat buruk nama sekolah kita. Karena kalian tahu itu berarti kelas kita harus dijadikan tumbal lagi untuk tiap masalah di sekolah ini. Lalu tak lama kemudian, kalian kembali menatap buku-buku kalian seolah lupa dengan itu semua? Aku tak habis pikir. Jadi, kalian ini menolak menjadi budak, atau malah menerimanya?"
"Kita sudah semester dua," ujar seorang laki-laki berambut keriting.
"Itu sebabnya! Kita sudah lakukan ini berulang kali." Rei kian menambah volume suaranya. "Dan kalian betah?"
"Tenangkan dirimu, Rei." Felix mulai mendekat. "Aku mengerti maksudmu, jadi tolong bersabar sedikit lagi."
"Kau 'kan pandai dalam sastra. Lalu kenapa kau tidak memilih kelas bahasa saja? Bukannya malah mengambil kelas dengan title 'Mayor'. Bukannya kau sama saja? Karena kau tahu kelas ini disegani oleh para siswa bahkan selalu dibanggakan oleh para guru. Semua siswa juga tahu bagaimana kehidupan kelas Mayor. Dan jika mereka beruntung, mereka juga tidak akan menolak masuk kelas ini. Hanya saja otak me—"
"Berhenti meremehkan orang lain!" Mata Rei langsung menangkap perempuan berjilbab di belakangnya. "Kau pikir aku benar-benar bangga masuk kelas ini? Jika bukan karena stigma bagus tentang kelas mayor yang terkenal hingga ke telinga para orang tua murid, aku juga tidak akan pernah mengabulkan permintaan ibuku. Lagi pula mau di kelas mana pun, nyatanya aku tetap bisa menguasainya. Kenapa? Kau
iri?"
KAMU SEDANG MEMBACA
CONSEMA
Mystery / ThrillerDemi lebih dekat dengan siswanya, SMA Noesantara akan menyeleksi konselor muda dari kalangan siswa tiap tahunnya, yang dikenal dengan 'Consema'. Insiden beberapa tahun silam kembali menyapa. Reputasi sekolah memburuk setelah berita seorang siswi bu...