Lingka sebenarnya bukan salah satu penyuka olahraga semacam futsal yang merebutkan satu bola padahal mereka semua mampu membelinya sendiri daripada harus berebutan.
Kalau bukan karena paksaan Samudera, Lingka sedikit enggan berdiam diri menyaksikan anak-anak cowok berlarian menggunakan jersey penuh keringat di tengah lapangan sana, sedangkan ia terdiam bosan.
Walaupun sebenarnya Lingka sering mengalami ini. Namun, akan berbeda rasanya kalau berada di taman belakang yang sunyi daripada di dalam gymnasium yang berisik karena suara teriakan anak ekskul futsal. Lingka bisa dengan bebas melamun, menulis sesuatu tanpa merasa waspada akan ada orang yang mengintip atau melakukan hal absurdnya yaitu bermain batu.
Tanpa sadar Lingka menghela napas. Tubuhnya bersandar pada kursi yang ia duduki. Tatapannya tiba-tiba terfokus pada Samudera yang melambaikan tangannya. Cowok itu terlihat kelelahan terbukti dari berapa banyaknya keringat yang menempel.
Rambut berantakannya terlihat naik turun saat cowok itu berlari. Kalau dilihat seperti ini rasanya kadar kegantengan Samudera naik. Ah, sosoknya seperti terlalu memukau untuk Lingka yang aneh.
Lingka benci mengakuinya. Tapi, terlanjur. Samudera sendiri yang meminta untuk masuk dalam zona milik Lingka dan Lingka sendiri tanpa sadar sedikit membuka pintu itu untuk Samudera, hanya karena ucapan Ibunya.
Setelah janji konyol yang Lingka utarakan kemarin, rasanya Lingka ingin menenggelamkan diri ke dalam rawa-rawa gara tidak bertemu Samudera. Ia merasa bodoh dan malu. Kenapa ia bisa dengan mudahnya berkata begitu, lalu mengikat Samudera dengan janji kelingking layaknya anak kecil. Yang benar saja, Lingka bahkan sedikit meragukan kesetiaan Samudera.
“Samudera!” Suara teriakan perempuan tiba-tiba mendominasi lapangan futsal. Bayangan Lingka tentang kejadian kemarin seketika buyar. Ia ikut memfokuskan diri pada objek yang di panggil.
Dari jaraknya yang tidak terlalu jauh, Lingka bisa dengan jelas melihat seorang gadis datang dengan membawa botol minum serta handuk kecil, membuat semua aktivitas berhenti hanya terfokus pada si gadis.
“Buat kamu Sam.” Ayu—namanya, anak kelas 12 Sains 3 yang sudah lama naksir Samudera. Ayu mengulurkan botol air mineral pada Samudera yang berdiri di pinggir lapangan.
Suara saling ‘cie’ ikut menggema. Samudera tersenyum ramah, dengan senang hati ia menerima botol pemberian Ayu. Kapan lagi dapat gratisan.
“Makasih Yu,” balas Samudera.
“Sam, aku boleh ndak pulang bareng kamu.” Ayu berkata, cewek itu berjalan di belakang Samudera yang hendak ke pinggir lapangan. Cowok itu menoleh.
“Jadi ini sogokan?” Sebelah alis Samudera menukik. Ayu buru-buru menggeleng. Tentu jelas bukan, ia memberi Samudera minuman pun bahkan hampir setiap saat cowok itu sedang melatih anak futsal.
Kekehan Samudera terdengar merdu di telinga Ayu. “Bercanda, tapi maaf enggak bisa Yu.”
Samudera meraih tasnya yang tergeletak di kursi.
“Kenapa?” tanya Ayu.
Samudera terlihat terdiam sejenak. “Gue ditungguin seseorang.”
“Cewek?” Ayu bertanya lagi. Raut wajahnya mendadak khawatir.
“Iya.” Mendengar balasan pendek dari Samudera membuat kedua bahu Ayu meluruh. Sejak kapan Samudera punya cewek, setaunya Samudera tidak pernah sekalipun dekat dengan gadis, kalaupun ada paling hanya interaksi biasa. Mengingat Samudera terlalu ramah.
“Siapa?” Ayu bertanya sedikit tidak yakin. Ia benar-benar harus menyiapkan diri.
Tanpa berkata, Samudera mengendikan dagu ke arah di mana Lingka duduk menunggu, otomatis pandangan Ayu ikut terpusat pada gadis itu. Keningnya berlipat bingung, Lingka dari kejauhan layaknya hantu sekolahan yang berada di film horor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hei, Lingka! [ON HOLD]
Подростковая литература[Follow dulu baru bisa baca] Banyak yang bilang kalau Lingka itu menyeramkan, putih pucat, berambut panjang berantakan dan penghuni taman belakang yang terbengkalai. Tak ada yang berani mendekat. Awalnya hidup Lingka damai meksipun tanpa teman, samp...