"Hujan?" Lingka berkata saat suara gemuruh terdengar samar masuk ke indra pendengarannya. Gadis itu mengerjap.
Samudera sudah sejak tadi bangkit. Cowok itu kini lenyap masuk ke dalam ruangan. Suara petir ikut menyambar keras. Masih dapat terdengar, tanpa sadar Lingka meremas rok yang ia kenakan. Matanya beredar mengelilingi sudut apartemen minimalis ini.
Menunggu Samudera membuat Lingka bosan, entah apa yang cowok itu lakukan. Ingin menghampiri, tapi Lingka masih punya sopan santun untuk tidak berjelajah. Dia tamu di sini.
"Kamar udah gue beresin. Lo bisa tidur di dalam." Lingka tersentak saat suara berat Samudera terdengar. Cowok dengan kaos hitam itu keluar dari kamar, berjalan menghampiri Lingka yang masih terdiam.
"Makasih dan maaf, aku ngerepotin."
Samudera tertawa pelan. Telinganya sedikit bosan mendengar Lingka terus berkata terimakasih. "Mau berapa kali bilang?"
Lingka tersenyum canggung. Ia bahkan ingin berucap berkali-kali, tak cukup hanya satu atau dua. Namun, ia urungkan begitu melihat pergerakan Samudera yang menyambar jaket miliknya.
Semua gerak gerik cowok itu tak luput dari pengamatan Lingka.
"Kamu ... Mau pulang?" Pertanyaan itu menghentikan Samudera.
"Ya, kenapa?" balasnya.
Lingka yang semula mendongak kini menunduk lantas menggeleng pelan. Tidak, ia tidak akan menahan Samudera di sini. Meskipun dalam hati kecilnya berkata untuk menyuruh Samudera tetap berada di sini. Lingka terlalu pengecut untuk ditinggal sendirian dalam apartemen.
"Yakin?"
"Iya," balas Lingka sedikit meragu.
"Ok, gue pulang. Kalau ada apa-apa lo bisa telpon gue." Lingka sama sekali tak menanggapi ucapan Samudera. Ia sibuk berdebat dengan hatinya. Antara harus menahan Samudera di sini atau membiarkan Samudera pulang dan berakhir dengan dirinya yang mungkin saja ketakutan.
Lagipula di luar hujan. Dan sepertinya logika Lingka kalah, tepat ketika Samudera berada di ambang pintu gadis itu kembali bersuara.
"Di luar hujan, apa enggak sebaiknya kamu di sini aja? ... Sama aku."
****
Samudera sedikit mengeram tertahan. Tarik napas embuskan. Samudera tahu kalau Lingka tak mau ditinggalkan sendirian di dalam apartemen. Gadis itu penakut, tapi membiarkan ia dan Lingka berada dalam satu ruangan yang sama semalaman mungkin bukanlah hal baik.
Apalagi untuk Samudera. Anggap saja Samudera membahayakan, memang. Ada banyak setan betebaran bisa saja menggoda Samudera. Makanya, sebelum terjadi. Samudera lebih baik pergi, tapi Lingka justru menahannya dengan tatapan memohon.
Samudera rasanya bisa gila kalau seperti ini, atau sepertinya sudah karena ia kini justru kembali ikut duduk di samping Lingka.
Samudera menyandarkan punggungnya ke sofa. Napasnya berembus kasar, menarik perhatian Lingka.
"Kamu ... Keberatan?"
Samudera reflek menoleh. Sedetik setelahnya mengumpat, sialan. Kenapa dalam keadaan seperti ini Lingka justru semakin manis.
"Maaf. Aku takut Sam, di sini sendiri." Nyali Lingka menciut seketika mendengar Samudera mengumpat keras untuk pertama kali. Ia pikir Samudera marah padanya.
Samudera mengusap rambutnya kasar. Apa gadis itu tidak takut kalau berdua saja dengannya?
"Enggak papa. Lo laper?" Samudera memilih mengalihkan pembicaraan. Lingka mengangguk pelan, menunduk malu. Memancing senyuman di wajah Samudera.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hei, Lingka! [ON HOLD]
Novela Juvenil[Follow dulu baru bisa baca] Banyak yang bilang kalau Lingka itu menyeramkan, putih pucat, berambut panjang berantakan dan penghuni taman belakang yang terbengkalai. Tak ada yang berani mendekat. Awalnya hidup Lingka damai meksipun tanpa teman, samp...