14. New Fellas

12 4 0
                                    

Minggu pagi aku mengantar bunga ke salah satu gang di Jalan Besar Kedua. Paman Kang menyuruhku sekalian mengantar bunga karena sejalanan, jadi aku tidak perlu bolak-balik. Setibanya di alamat yang dituju, ada 3 laki-laki muda sedang mengendap-endap mengambil buah mangga di rumah pembeli bunga. Aku kenal mereka, kemarin aku sempat menatap wajah pemuda-pemuda ini di mart. Mereka adalah teman-temannya Jaemin.

"Hey! Kalian mau apa?!"
Kataku sambil mendekat. Kemudian, salah satu laki-laki yang dagunya runcing mendekatiku.

"Heh! Gak usah berisik!"

Dua laki-laki lainnya ada di pohon mangga. Yang berbadan tinggi memetik di atas, yang berwajah mungil di bawah untuk memasukkan mangga dalam karung kecil.

"Kalau kamu macam-macam, a-akan gue hajar lu!"
Ancamnya agak kagok.

"Oh, iya? Memangnya kau berani?"
Ku pancing lagi laki-laki ini.

"WOY! ANAK-ANAK NAKAL!"

Si pemilik rumah lari keluar dan menudingkan gunting taman pada dua teman Jaemin yang sibuk di pohon mangga.

"Jeno, ayo cabut!"
Ajak lelaki yang membawa karung kecil. Ternyata laki-laki di depanku ini bernama Jeno.

"Cih! Awas lu ya!"

Jeno menampar pot bunga yang berdiri tegak di jok belakang motorku, lalu pergi dari TKP agar terhindar dari amukan pemilik rumah. Sialan! Kamu akan membayarnya, lihat saja kamu Jeno.

"Oh, kamu yang ada di toko bunga itu."
Sapa pria tua dengan gunting taman yang tadi ditodongnya.

"Benar, Pak. Saya kesini untuk mengantarkan bunga. Tapi..."

Ya, tanah di pot bunga ini berserakan di jalan. Untung tidak jatuh banyak, tapi sial banget.

"Sudahlah tak apa. Mereka itu selalu saja mengganggu rumah-rumah warga yang punya buah. Mereka memang nakal dan gesit kalau mau ditangkap, jadi biarkan saja."
Jelasnya sambil melihat arah mereka kabur tadi.

Potnya sedikit pecah, pria itu mengatakan tidak apa-apa karena bukan salahku. Setelah itu, aku berpamitan untuk pergi dari situ. Tapi, pria itu menahanku sebentar. Ia memberikan aku uang 50 ribu, katanya untuk membeli bensin. Aku menolaknya, namun pria itu bersikeras memberikan uang itu dan mengucapkan terima kasih padaku. Ku rasa, akulah yang berterima kasih. Ya, rejeki tidak kemana.

***

Setelah dari Jalan Besar Kedua, aku langsung pergi ke depan kampus Hyewon. Tempat dimana aku dan Jaemin berjanji untuk bertemu hari ini, Kafe Unelma. Aku beranikan diri untuk masuk sendirian. Tempat parkir motor ada di belakang, banyak mata yang memandang ketika motor tuaku melaju pelan ke parkiran motor. Ku kira aku harus ke tempat duduk dulu untuk menunggu Jaemin, ternyata ia duduk di motornya menghadap gerbang masuk. Aku parkir dekat motor sport-nya.

"Maaf membuatmu menunggu."
Ujarku sopan.

"Aku juga baru sampai."

Aku matikan mesin motor tua ini. Menurunkan standar samping, lalu duduk di atas jok. Jaemin memandangiku terus, seperti ada kecurigaan terukir dari ekspresinya.

"Hangyul, 'kan?"
Ia menyebut namaku untuk memastikan.

"Benar."

"Aku ada satu pertanyaan untukmu."

"Benarkah? Aku juga begitu."

"Kalau begitu, kau duluan."

"Tidak, kamu saja."

"Cepatlah, jangan buang waktuku."

Sombong sekali dia. Ya sudah, aku tanya saja lebih dulu untuk memastikan feeling-ku benar atau tidak.

Hangyul, The Dream Catcher [Book 2] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang