Pria keriput dengan rambut yang mulai beruban sebagian itu menyerahkan selembar amplop kertas pada pria berambut perak di hadapannya. Dengan sopan, ia menundukkan pandangan. Seolah-olah mempersilahkan pria berambut perak itu membaca isi dari amplop itu.
"Berikut data yang dapat kami kumpulkan setelah kami menyisir daerah sekitar kastil Sancaria, yang mulia. Jumlah pasukan, lengkap dengan data pribadi keseluruhan." Ucapnya dengan sopan.
Menggerakkan bola matanya, pria berambut perak itu melirik sekilas ke arah pria tua yang masih menunduk di hadapannya. Kemudian beralih memperhatikan amplop cokelat yang dengan rapih ditunjukkan padanya.
Ia mengulurkan tangannya. Meraih amplop itu. Dengan lembut, ia mengurai tali pengait amplop. Mengeluarkan isinya.
Lembaran kertas tebal yang mungkin berjumlah ratusan itu diperhatikannya dengan seksama. Pada halaman pertamanya bahkan sudah membuatnya mengernyitkan dahi.
'Georgian Arthur von Dutch'
Sudah berapa bulan lamanya dia tak mendengarkan kabar mengenai pria itu. Semenjak beberapa minggu sebelum dia dikirim ke Sancaria hingga kini.
Bahkan dirinya nyaris melupakan bagaimana wajah adiknya itu.
"Mereka semua 'berhasil dihukum'?" Tanyanya sambil membuka lembaran lain yang ditunjukkan.
Satu persatu, nama yang tak ia kenali muncul. Pangkat-pangkat militer yang masih rendah hingga cukup tinggi ada di dalam daftar. Jika diperhatikan, pasukan yang 'dihukum' baru mulai mengabdi sekitar dua atau tiga tahun yang lalu. Namun, kualitas bertarung mereka jauh di bawah rata-rata pasukan dari korps lain.
"Benar, yang mulia. Mereka semua sudah menghilang lebih dari 72 jam dari hutan Sancaria. Bisa dipastikan mereka semua sudah mati, yang mulia." Jelasnya.
"Bagaimana kalian bisa memastikannya?" Philips. Pria berambut perak itu melirik tajam ke arah pria tua di hadapannya.
"Kami bisa memastikannya karena warga sekitar tak ada yang melihat tanda-tanda mereka selama 3 hari ini, yang mulia."
"Maksudku bukti yang lebih konkrit. Potongan tangan, kaki atau bahkan kepala mereka. Kalian temukan?"
Pria tua itu menundukkan kepalanya. Bulu kuduknya semakin berdiri saat tatapan tajam pria berambut perak di hadapannya itu semakin dalam menusuknya.
"Kami... Tidak menemukan apapun yang tersisa, yang mulia." Ucapnya sambil menahan suaranya yang bergetar.
Melempar amplop itu, Philips kemudian menaikkan sebelah kakinya ke atas lututnya yang lain. Bersandar pada kursi kayu seakan tengah duduk di singgasananya.
"Kau bisa menjamin apa kalau bocah sampah itu akan kembali? Cukup sudah membuat pemerintah mempertimbangkan posisiku sebagai penerus. Kalau dia belum benar-benar mati, semua yang aku lakukan tak akan ada gunanya!" Suaranya memang pelan. Namun tekanan yang dirasakan di ruangan itu semakin terasa seiring kalimat yang Philips katakan.
Tak menjawab apapun, pria tua itu semakin mengeratkan genggaman kedua tangannya. Rasa percaya dirinya yang sebelumnya sudah benar-benar terbangun karena mengatakan berita kematian pangeran kedua kini runtuh seketika karena bukti yang ia bawa nihil adanya.
Jika sudah seperti ini...
Kalimat selanjutnya yang akan diucapkan pangeran pertama adalah...
"Hey... Kau akan menjaminkan apa padaku???" Pria berusia sekitar 23 tahun itu menyangga kepalanya dengan tangan kanannya yang bertumpu pada kursi. Ia menyunggingkan seringaian tajamnya.
Keringat dingin mulai bercucuran dari pelipisnya. Pria tua itu sudah lebih dari 25 tahun mengabdi pada istana. Jauh sebelum pria berambut perak di hadapannya itu lahir. Tapi siapa sangka dia akan diakhiri seperti ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
My Empress | CIX
FanfictionCover image : @all_need_is (twt) Ada satu suku di negeri Ecestarias dimana tak ada satu orangpun yang buruk rupa di antara mereka. Terkenal dengan kulit putih pucat kemerahan dan juga rambut pirangnya. Semakin terang warna rambut dan semakin cerah k...