***
Pesawat mendarat, rodanya membentur lapangan lepas landas di bandara besar yang gedungnya terlihat cukup mewah. Begitu roda berhenti, para pramugari mulai sibuk membantu para penumpang. Mereka melangkah, menunjukan pintu keluar, membantu menurunkan koper-koper dari kabin dengan senyum yang terlihat amat ramah.
Lalisa Lee adalah salah satu penumpang itu. Seorang pramugari membantunya dengan sebuah kopernya, sementara ia sendiri sibuk dengan handphonenya. "Terimakasih," singkatnya, menarik kopernya pergi meninggalkan kursi bisnis yang tadi ia duduki. Penerbangan dari United States, sempat terasa sangat panjang tadi, tapi akhirnya ia tiba juga di negara tujuannya– Korea.
Udara di Bandara Internasional Incheon yang pertama kali menyambutnya. Begitu handphonenya menyala dan panggilan yang ia lakukan dijawab, gadis itu menghela nafasnya kuat-kuat. Ini bukan liburan, tegasnya dalam hati. Ayah dan ibunya tinggal di Michigan sekarang, sejak ia lahir, ia pun tinggal di sana dengan orangtua dan seorang kakak perempuannya. Tapi sebuah situasi, kini membawanya ke negara kelahiran ayahnya– meski ayahnya bukan lagi warga negara di sana.
Rambutnya yang panjang tertiup angin, begitu juga dengan blazer berwarna krem yang menyelimuti kemeja putihnya. Sebuah koper silver miliknya, ia tarik melewati lantai-lantai dan pintu-pintu mengikuti jalan keluarnya. Sementara kata-kata berbahasa Inggris terlantun secepat langkah kakinya.
"Kita sudah putus Eric. Aku ke sini, bukan untukmu. Jadi, ku peringatkan, jangan muncul di bandara. Jangan pergi ke toko bunga, membeli sebuket besar mawar merah dan berdiri di depan pintu keluar. Jangan- augh! Sudah aku bilang jangan melakukannya!" kesal Lisa, sebab matanya menangkap seorang pria yang ia ajak bicara tadi.
"I'm at the airport right now," tegas pria itu, pada teleponnya meski ia hanya membawa segelas kopi, tanpa buket mawar merah. "Bagaimana bisa aku menolak permintaan ibumu? Cepat keluar. Aku bisa melihatmu walaupun kau berbalik dan menggerutu dengan kakimu," ucap pria itu, terdengar sama kesalnya. "Aku sudah membatalkan jadwal Podcast-ku untuk menjemputmu. Jadi cepat kesini, Lalisa. Aku hanya akan mengantarmu ke apartemen, bukan ingin menculik atau mengajakmu kawin lari," bujuk pria itu, yang justru membuat lawan bicaranya jadi semakin malu.
Dengan angkuh, gadis itu menyerah dan menghampiri Eric. Lisa– sapaan akrabnya– mendorong kopernya, membuat Eric Nam, mantan kekasihnya secara naluriah meraih koper itu. Dorongan dan tangkapan keduanya begitu halus, seolah mereka sudah sering melakukannya sebelumnya.
Sejurus kemudian, tanpa mengatakan apapun, Eric memasukan koper Lisa ke dalam bagasi mobilnya. Sedang Lisa melangkah masuk ke kursi penumpang bagian depan dan duduk di sana dengan wajah jengkel. Hal pertama yang Lisa lihat adalah foto Eric bersama wanita lain yang digantung di kaca tengah mobil itu. Sebuah benang wol berwarna cokelat yang menggantung foto itu, terlihat rapuh terutama saat Eric dengan sengaja menarik foto itu dan memasukannya ke dalam saku kemejanya.
"Kau merusak fotonya, bodoh," gumam Lisa, mengomentari sikap mantan kekasihnya itu. Keduanya kembali diam, sebab Eric tidak menanggapi ucapan Lisa. "Kenapa kau berhenti jadi akuntan?" gumam Lisa, sebab tiba-tiba saja, saat palang bandara bergerak naik dan mereka bisa keluar, ia mengingat alasan mereka putus beberapa tahun lalu. Karena Eric ingin pergi ke Korea dan jadi pemusik di sana.
"Kenapa kau masih menanyakannya?" balas Eric, sedikit kecewa sebab bukan pertanyaan tadi yang ingin ia dengar dari Lisa. "Aku ingin bermusik," susul Eric, memberi jawaban yang sama dan menghentikan pembicaraan itu dengan cara yang sama juga, setelah beberapa tahun lalu mereka melakukan sesi tanya jawab itu dengan runtutan yang sama persis.
Bukan "kenapa kau berhenti jadi akuntan?" yang ingin Eric dengar. Yang Eric ingin dengar adalah "kenapa kau ingin jadi pemusik?"
Bukan "aku ingin bermusik" yang ingin Lisa dengar. Yang ingin Lisa dengar adalah alasan sebenarnya– apa yang sebenarnya menyulitkan Eric, apa ia terlalu menuntut? Apa ia terlalu rewel? Hingga Eric ingin melarikan diri darinya? Lisa luar biasa penasaran. Namun ia tidak pernah berani menanyakannya. Ia tidak siap akan jawaban yang mungkin Eric berikan, dan ketidaksiapan itu kemudian membuat hubungan mereka harus berakhir.
Setelah dua jam mengemudi, Eric menghentikan mobilnya. Mereka berhenti di depan sebuah gedung tiga lantai. Dari luar kelihatannya memang hanya ada tiga lantai, tapi Lisa yakin mereka pasti punya satu atau dua basement di bawahnya.
"Kau akan bekerja di sini?" tanya Eric, berdiri di sebelah Lisa dengan kacamata hitam miliknya. Ia baru saja menurunkan koper Lisa, menyerahkan kotak silver itu pada pemiliknya. "Seorang Lalisa-"
"Kau ingat apa yang Stephanie selalu katakan? Lisa, jangan terus mencari uang, uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Sekarang, aku ingin memperlihatkan padanya bagaimana caranya membeli kebahagiaan," Lisa memotong ucapan Eric, sementara matanya sibuk menatap layar handphonenya. "Aku masih ingat jalan-jalan utama di sini, aku bahkan tahu alamat paman dan kakekku. Kau bisa meninggalkanku di sini," ucap Lisa, mengusir pria yang seharusnya tengah bekerja sekarang.
"Dimana kau akan tinggal? Kirim alamatmu padaku," suruh Eric, bersamaan dengan denting handphonenya. Sebuah pesan baru saja masuk ke handphone Eric, isi pesannya adalah beberapa foto dari Lisa. Foto sebuah gedung apartemen, juga beberapa foto ruangan di dalamnya.
"Pintu, jendela, keamanan, semuanya aman. Kirim itu pada ibuku, seolah-olah kau sudah mengecek segalanya," ucap Lisa, memberitahu Eric kalau ia akan tinggal di sebuah gedung, di kompleks apartemen berjarak tiga menit berjalan kaki dari kantor barunya.
"Kau tidak tinggal di apartemen Stephanie?"
"Apartemennya sudah lama di jual. Sudah tujuh tahun sejak Stephanie meninggalkan Korea, mungkin gedungnya sudah dirobohkan." balas Lisa, yang sekali lagi menghela nafasnya, sekali lagi menyuruh Eric untuk pergi supaya ia bisa segera masuk ke kantor barunya.
"Aku masih tinggal di rumah lamaku, gedung apartemennya belum dirobohkan. Hubungi aku kalau kau punya masalah mendesak, hanya saat mendesak," ucap Eric yang akhirnya meninggalkan Lisa di sana tanpa banyak pertanyaan lagi.
Eric tahu ia tidak perlu mengkhawatirkannya, namun pria itu ingin tahu lebih banyak tentang alasan Lisa datang ke Korea. Eric penasaran, sebab dalam ingatannya, kecuali terpaksa, Lisa tidak akan mau keluar dari tempat kerjanya yang lama. Lisa si wanita ambisius tidak akan melepaskan jabatannya, pekerjaan yang sudah lama ia idamkan, kecuali ia punya alasan yang benar-benar pasti, kecuali ia tidak punya pilihan lain.
"Apa dia kena skandal dengan Tom dan di usir? Heish! Tidak mungkin! Dia tidak akan mau jadi simpanan Tom," pikir dan tepis Eric setelah ia meninggalkan Lisa di depan gedung kecil tadi. "Lalu apa alasannya berhenti dan pindah ke sini? Mencariku? Sampai mati pun dia tidak akan melakukan itu. Dia hamil dan melarikan diri? Tidak mungkin, ibunya tidak akan menghubungiku kalau itu yang terjadi. Jadi kenapa dia ke sini?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sparkling Society
FanfictionUang bukan segalanya, uang tidak bisa membeli kebahagiaan, begitu kata sebagian orang naif yang kutemui. Entah apa alasan mereka mengatakannya, tapi untukku, meski bukan segalanya, uang bisa membeli kebahagiaan. Kalau uang yang kau miliki sekarang...