What am I actually doing?
Ayah selalu mengingatkanku untuk nggak pernah mempermainkan perasaan. Apalagi perasaan seseorang. Aku masih ingat, pertama kali Raka mengantarku pulang, ia diajak Ayah untuk masuk ke rumah dan mengobrol di ruang tamu. Mereka cukup lama berbincang hingga setelah Raka pulang, aku bertanya apa yang mereka bicarakan. Ayah tersenyum, mengusap kepalaku. Alih-alih menjawab. Ayah malah melayangkan pertanyaan.
"Kamu suka dia, Nak?"
Diberi pertanyaan itu, tentu aku kaget dan juga malu. Jujur saja, pada saat itu aku memang sudah menyukai Raka. Akan tetapi, aku terus ragu karena Dira sering mengingatkanku soal reputasi Raka. Terlalu lama diam dan nggak bisa menjawab. Ayah justru tertawa.
"Dia anak baik. Dia bilang dia suka sama kamu dan minta izin Ayah untuk lebih dekat sama kamu."
Mataku membulat. Nggak percaya kalau Raka akan seberani itu.
"Kalau kamu nggak suka dia, nggak apa-apa, jujur aja. Dia kelihatan ngarep banget sama kamu. Kasian kalau lama kamu gantungin perasaannya." Kelakar Ayah kemudian.
Selama ini, itu yang kulakukan apabila ada lawan jenis yang tertarik denganku dan aku nggak tertarik dengan mereka. Aku akan jujur pada mereka jika aku memang nggak tertarik dan aku hanya ingin berteman. Randu adalah kesalahan yang sangat kusesali. Aku nggak mau mengulangi kesalahan yang sama lagi. Tapi sekarang, kenapa jadi begini? Aku merasa seperti cewek labil yang nggak berpendirian. Meski kutahu, Aldian sama sekali nggak masalah menjalani hubungan yang kayak gini, tetap saja, ini terasa salah buatku. Aku nggak bisa. Ini nggak benar. Namun, apa yang harus kukatakan pada cowok itu? Meminta kejelasan? Itu menyedihkan banget.
"Ren, elo ngelamun?"
Aku tersentak. Kala menoleh, kudapati Jiara menatapku dengan alis menungkit. "Eh, sorry, lo bilang apa?" tanyaku merasa bersalah.
Jiara menatapku sejenak lalu berkata sambil memberi buku menu. "Elo mau makan apa? Gue sih rekomendasiin gurame goreng. Lo pasti suka."
"Yaudah, gue itu aja. Minumnya air putih."
Jiara mengangguk, pramusaji yang setia berdiri di samping meja kami pun mencatat pesanan lalu pamit undur diri. Usai cooking class, Jiara mengajakku untuk makan bareng di restoran Ikan Bakar Cianjur. Cewek itu memang paling juara dalam memilih tempat makan. Jiara bercerita kalau pacarnya punya hobi makan. Makanya, Jiara memutuskan untuk ikut cooking class. Selain itu, mereka berdua termasuk food hunter. Kalau mau minta rekomendasi tempat makan yang enak, Jiara akan aku jadikan pilihan pertama.
"Gue mau nanya sesuatu sama lo. Elo keberatan nggak?" Jiara tiba-tiba bertanya. Aku mengangkat wajah, mengerutkan kening.
"Kenapa nggak boleh?" sahutku sambil tersenyum."Tanya aja, Ji."
Jiara melipat tangannya di meja. Matanya nampak serius saat menatapku. Sepertinya ini pertanyaan yang cukup personal.
"Lo sama Al punya hubungan apa?"
Aku nyaris tersedak. Nggak mengira kalau Jiara akan melayangkan pertanyaan itu. Aku memang nggak pernah membahas Aldian pada Jiara. Sepengetahuan Jiara pun hanya aku sebatas mengenal Aldian dan kami nggak pernah bertemu lagi setelah itu. Lalu, kenapa tiba-tiba Jiara menanyakan hubunganku dengan Aldian?
Jiara menghela napas lalu menatapku lekat. "Gue itu udah kenal Al sejak kecil, Ren. Gue juga udah jadi sekertaris dia lima tahun. Hampir dua puluh empat jam dari senin sampai jum'at gue menghabiskan waktu dengan Al. Perubahan kecil dari cowok itu nggak mungkin nggak gue sadari."
Kubasahi bibirku yang mendadak kering. Mataku berkedip. Aku ingin mengeluarkan suara. Namun entah kenapa sulit sekali buatku bicara. Beneran, aku merasa seperti ada di ruang sidang dan sedang diadili.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Think I'm Pretty
Romanzi rosa / ChickLit[COMPLETED] Melupakan seseorang yang dicintai bukan persoalaan yang mudah. Setidaknya ia sedang berusaha. Pun bagaimana, Irene tidak bisa menyimpan perasaaan pada mantan pacarnya tersebut. Sebab, sekarang mantan pacarnya telah menikah dengan sahabat...