Bab Lima Belas-Imbalan

3 2 0
                                    

Yang pertama kali aku lihat saat membuka mata pagi ini adalah wajah bos yang hanya berjarak beberapa sentimeter dengan mata terpejam. Dia melipat tangan dan menjadikannya sebagai bantal. Dengan jarak sedekat ini yang membuat aku mengerutkan dahi adalah bentuk hidung bos yang begitu mancung sempurna.

Tanpa sadar jari telunjukku sudah menyentuh hidungnya, membuat bos membuka matanya lebar-lebar. Bos mendorong tanganku perlahan sambil berkata, "Kalau kau sudah punya tenaga, lebih baik kita pulang."

Aku hanya membalasnya dengan senyuman kaku. Sejak dua hari yang lalu, tepatnya karena pertemuan aku, Cindy dan Steven di ruangan bos, setiap hari bos tidak pernah jauh dariku. Aku ingat ketika aku membuka mata, aku sudah berada di rumah sakit dengan kanula yang membantuku bernapas.

Kemarin, saat aku merasa kondisiku sudah membaik dan tidak perlu bernapas dengan bantuan kanula, aku menyuruh Cindy datang dan menjelaskan semuanya. Berdasarkan cerita Cindy, dia mengaku kalau dia sudah menyukai Steven sebelum aku mengenal Steven, saat mereka sama-sama ikut klub pencinta anjing.

Dulu kami sering mengganggu Cindy dengan berpura-pura akan merebut ponsel bila dia tersenyum-senyum sendiri menatap layar benda itu tanpa tahu siapa sebenarnya yang sedang berkomunikasi dengannya. Ternyata itu Steven. Kata Cindy sebenarnya Mei sudah tahu entah dari mana, tapi dia menjaga rahasia sahabatnya agar tidak ada permusuhan di antara kami.

Aku hanya bisa tersenyum miris mengingat bagaimana cara Steven mengatakan cintanya padaku ketika masih kuliah dulu, tepatnya awal semester enam. Dia menyewa satu restoran Jepang yang aku tahu harga makanannya menguras dompet karena Mei selalu menabung sebelum makan di sana.

Saat aku menyumpit sashimi, tiba-tiba alunan musik memenuhi ruangan dengan volume yang lumayan kuat, refleks aku menoleh ke kanan-kiri, bingung. Semakin bingung ketika para pelayan masing-masing membawa setangkai mawar merah. Steven yang tadinya duduk di kursi seberang meja kemudian berdiri yang membuatku juga ikut berdiri dan aku masih bingung apa sebenarnya yang terjadi. Aku baru sadar maksudnya apa ketika Steven berlutut.

Andai kenangan bisa dihapus seperti data di komputer atau program yang bisa di-uninstall, aku ingin membuang kenangan itu tapi malah aku dapat mengingatnya dengan baik.

"Bos, aku mau jalan-jalan keluar sebentar," seruku dengan nada yang semangat, menunjukkan kondisiku sudah lebih baik dari yang kemarin.

"Besok kita pulang, jadi istirahatlah," kata bos pelan.

Melihat wajah bos yang lelah dan lingkaran hitam di bawah matanya membuatku merasa bersalah, sebagai pegawainya aku hanya menyusahkannya.

"Besok aku boleh kembali ke kos?" tanyaku hati-hati, "Dan aku akan mengundurkan diri dari Kimchi Corner."

"Kau tidak senang denganku?" Nada bicaranya memang biasa saja, tapi aku tahu, bos tersinggung.

"Bukan seperti itu, bos. Aku hanya tidak ingin menyusahkan. Aku juga akan kembali ke Surabaya."

"Justru itu akan menyusahkanku, Shiafanya." Bos menatapku dengan ekspresi wajah yang tidak bisa aku baca.

Aku mengalihkan pandanganku. "Aku mau jalan-jalan sebentar." Aku mengulangi perkataanku sebelumnya dan turun dari ranjang, berdiri sebentar menjaga keseimbanganku sebelum melangkah ke pintu sambil mendorong tiang infus. Kakiku berhenti menjejak, bos melingkarkan sebelah lengannya ke leherku dari belakang. Jantungku berdebar keras sampai aku takut bos bisa mendengarnya.

"Bisakah kau lebih lama tinggal di sini. Bukan untuk Steven Wijaya, tapi untuk Steven Lee," bisik bos tepat di telinga kananku.

Aku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Bos menempelkan dahinya ke pundakku, aku semakin tidak bisa bergerak apalagi melangkah pergi. Yang bisa aku lakukan hanyalah memejamkan mata dan tetap diam tanpa tahu kapan ini akan berakhir.

Double STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang