11. The Painful Feeling

12.2K 2.1K 172
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Maia mendelik kala menemukan Rahmat tengah menenteng kotak peralatannya, keluar mengendap-endap dari pintu samping common area lantai 37. Begitu pandangannya berserobok dengan Maia yang baru keluar dari lift, pemuda itu berjalan ke arah berlawanan, seolah takut berjumpa debt collector

Gadis itu dengan gesit menyusul Rahmat yang jelas akan kabur dari janjinya di telepon. Langkah Rahmat yang lebih panjang, tak menghalangi niat Maia.

Melirik sekitarnya yang lumayan sepi, karena sudah lewat jam pulang kantor, Maia pun mempercepat gerak tungkainya. Tangan kanannya berhasil menarik punggung t-shirt hitam Rahmat, dan berjibaku sesaat karena si bongsor mendesis-desis seperti kambing hendak disembelih.

Maia memaksanya masuk ke ruang janitor penyimpanan alat pembersih. Ruang sempit yang dihuni oleh sapu, pel, obat pel dan sebangsanya. Tempat terdekat yang tidak dihuni cctv atau pun dicurigai pegawai lain.

"Mbak!" geram Rahmat, menyadari punggungnya sudah bertabrakan dengan gagang-gagang pel, karena Maia mendorongnya.

Gadis itu buru-buru mengunci pintunya. "Suush! Diem dulu! Disuruh nunggu di dalem nggak mau sih! Salah sendiri," bisiknya.

"Kan udah lima menit kan, tadi kata Mbak? Udah lewatlah, mau briefing ini saya, Mbak!" balas Rahmat.

"Bentar dulu! Bandel banget ya ampun," keluh Maia. Tidak peduli pada wajah khawatir Rahmat yang pasti ditunggu oleh leader-nya untuk briefing terakhir sebelum pulang.

"Lagian tinggal pura-pura nggak kenal aja sih, Mbak! Nggak bakalan ngenalin saya juga, orang pake seragam begini juga," cerocos Rahmat tak terima.

"Suush!" Sementara Maia menempelkan ponsel ke telinga kirinya, berusaha menghubungi Wisnu. Nada sambung yang lagi-lagi terlalu lama diabaikan.

Karena tidak kunjung diangkat, Maia pun menutupnya. Kemungkinan kalau Wisnu tidak bisa menerima panggilannya, berarti dia sudah berada di basement. Atau mungkin tengah menukarkan akses ke security lobby?

Setidaknya, itulah yang Maia harapkan. Ia jelas tidak akan siap kalau Wisnu justru berbalik ke atas dan melakukan keajaiban lain. Nu, please jangan balik ke sini, please ..., rintih Maia dalam hati.

"Mbak ..." bisik Rahmat lagi. Kali ini Maia berusaha fokus pada suara itu, yang berada di atas kepalanya sendiri.

"Huh?" Maia tercenung, terpecah antara lamunan dan kenyataan. Bahwa di hadapannya kini serba hitam. Gadis itu mencerna objek yang ternyata adalah t-shirt Rahmat— yang hanya berjarak sejengkal dari wajahnya.

Sedangkan Rahmat mendongakkan wajahnya karena tidak tahu harus menatap apalagi selain sarang laba-laba di langit-langit sempit.

Aroma pinus mulai menggerayangi indera pernapasan mereka. Apalagi, kalau bukan wangi obat pel. Maia tersadar bahwa tempat persembunyian ini begitu hina. Dan kenapa juga tindakan impulsifnya lagi-lagi membuahkan situasi abnormal untuknya dan Rahmat. Kesekian kalinya, dengan orang malang yang sama.

ElevateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang