Bumi itu berputar. Membuat matahari dan bulan bergantian menampakkan diri. Dimana keduanya begitu setia menyapa manusia di sisi yang berbeda. Jika di bumi bagian barat muncul matahari maka di bumi bagian timur sedang menikmati rembulan. Begitu sebaliknya. Tidakkah diri merasakan kebesaran Al Aziiz dengan segala keteraturan alam semesta ini.Maka ikut dalam arus keteraturan perputaran alam semesta ini adalah semakin bertambahnya umur dan semakin berkurangnya jatah hidup. Sebuah hukum alam yang terkadang ditakutkan oleh sebagian orang. Tumbuh, besar, menjadi dewasa dan akhirnya tua.
Tanpa dibahas dari sisi ilmiah atau medis kedokteran pun semua pasti yakin tubuh terus mengalami perkembangan. Secara kasat mata, semua bisa memahami jika manusia akan terus tumbuh. Hingga akhirnya mencapai batas kenormalannya. Menurun dan sampailah pada saat mencapai masa yang dinamakan degenerasi sel. Itulah proses penuaan.
Maka mau tidak mau, diam atau bergerak, merubah diri atau tidak, mau belajar atau bermalasan, mau terus bermaksiyat atau taubat, mau beribadah atau cuma bersenang-senang. Tiap manusia mempunyai probabilitas yang sama, yaitu hidup terus mengikuti lingkaran kehidupan, menuju tua dan akhirnya mati.
Maka menjadi baik, sholih dan taat pada sang Rabb atau menjadi buruk, fasiq dan suka melanggar aturan syara' sebenarnya sebuah pilihan yang harus terpatri di benak diri sejak baligh. Karena mau menjadi sholih atau tidak, mau menjadi preman atau penghafal Quran, mau menjadi pezina atau pendakwah, semuanya menuju pada satu titik yang sama, yaitu ajal yang datang. Masuk ke alam barzah dan akhirnya bersama-sama di hari penghisaban untuk mempertanggungjawabkan semua pilihan yang telah kita lakukan dalam mengisi usia yang telah diberikan pada manusia.
Jadi singkatnya menjadi pendosa, pecundang di dunia pun mati dan dihisab, menjadi muttaqin, manusia bertaqwa pun mati dan dihisab. Karena sejatinya Al Khaliq telah menurunkan syariat yang sama untuk dijalankan oleh hambaNya. Dan semua pasti mencapai titik yang sama bernama kematian. Sungguh merugi jika kita mengisi usia yang diberi hanya untuk mengakhirinya menjadi pendosa dan pecundang dunia, suka melanggar syariatNya. Karena sejatinya garis finish manusia itu sama, alam kubur.
Maka jika kita mau berpikir secara jernih, seharusnya memiliki pilihan atas kehidupan yang dimiliki. Menjadi hamba muttaqin ,taat syara' hingga menemui ajal seharusnya menjadi pilihan mutlak. Kitalah pengendali diri kita tentang pilihan tersebut. Mau menjadi manusia seperti apa selama hidup di dunia.
"Allah mengumpulkan semua manusia dari yang pertama sampai yang terakhir, pada waktu hari tertentu dalam keadaan berdiri selama empat puluh tahun. Pandangan-pandangan mereka menatap ( ke langit ),menanti pengadilan Allah" (HR. Ibnu Abi ad Dunya dan Ath Thabarani)
Husna melepas mukena warna putih yang dikenakannya. Sholat subuh baru saja usai ditunaikannya. Husna sudah hendak membuka laptop untuk melanjutkan mengetik thesis ketika perutnya terasa diaduk. Segera saja ia keluar kamar menuju wastafel yang ada di depan kamar mandi. Drama morning sickness mulai jam tayang.
"Ini bibik udah siapin wedang jahenya mbak Na" bik Darsih yang sudah mulai hapal jam tayang Husna mengalami mual sudah siap berdiri di dapur sekaligus ruang makan.
Husna melirik sebentar ke arah meja makan. Di sana memang telah tersaji segelas minuman dan sepiring kue. Entah apa. Husna masih ingin menuntaskan dahulu keinginannya untuk muntah.
"Masya Allah, makasih ya bik. Bibik mulai masuk dapur jam berapa kok jam segini sudah matang pisang goreng begini" ucap Husna kala sudah duduk di dekat meja makan. Melihat sepiring pisang goreng mengepul panas.
"Ya sejak sepertiga malam toh mbak Na. Di pondok kan juga begitu. Jam segini sudah masak, adang nasi, bikin wedang..." sahut bik Darsih kenes. Husna tersenyum memandang perempuan 60 tahunan yang masih lincah dan energik itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Story in Hospital 5 (Always Forever in Love)
EspiritualMenemukan pelabuhan hati di kehidupan dunia tentu saja harapan tiap insan. Bertemu dengan orang yang tepat dan di waktu yang tepat. Itu inginnya. Tanpa melebihkan pun mengurangkan tentang hakikat takdir. Asa yang selalu dilangitkan terjawab ijabah...