Bagian I

16 1 0
                                    

"Kita memang kembar. Tapi kita bukan orang yang sama. Aku bukan dia, pun sebaliknya."

"Kau yang berulah aku yang jadi tersangka."

"Aku membencimu."

"Jangan pergi."

***

"Yunho. Bangun."

Suara berat Yujin menelusup indera pendengaran Yunho yang masih dalam kondisi setengah sadar. Separuh nyawanya masih asik bermain dalam alur mimpi indahnya, sementara separuh nyawanya yang lain berusaha membangkitkan kesadarannya sebelum Yujin melemparnya dengan bantal atau menyiprat wajahnya dengan air dingin.

"Yunho." panggil Yujin sekali lagi, namun sang pemilik nama hanya menjawab dengan gumaman tak jelas dan kembali memeluk mesra gulingnya.

Yujin menghela nafas, mendekat untuk duduk disamping Yunho yang masih tertidur. Dua jarinya menjepit hidung Yunho, membuat empunya kesulitan bernafas dan terbangun dengan paksa.

"Hah! Yujin! Astaga aku bisa mati!" protes Yunho disertai pukulan pada punggung tangan Yujin yang menghambat pernafasannya barusan.

"Makanya bangun. Mau berangkat sekolah jam berapa? Jangan telat lagi." ucap Yujin lantas beranjak dari posisinya. Sorot matanya masih memandang Yunho memastikan anak itu benar-benar bangun dari kasurnya dan tidak kembali melanjutkan tidurnya. Bibirnya tersenyum kecil mendapati Yunho yang akhirnya terduduk sambil mengusap wajahnya dengan rambut yang cukup berantakan. Kedua pipinya secara alami memerah, kedua matanya masih berusaha membuka mencari kesadaran pemilik tubuh. Sebenarnya Yunho menggemaskan, hanya saja jika sudah mengenal Yunho seperti apa, pasti kata 'menggemaskan' tidak akan sanggup terucap.

"Aku sudah siapkan sarapan. Cepat mandi lalu sarapan. Hari ini dijemput Mingi?" tanya Yujin. Yunho hanya menggumam mengiyakan pertanyaan Yujin. Yujin mengangguk paham sebelum akhirnya melangkah keluar dari kamar Yunho. Yunho sendiri mengecek ponselnya, membuka percakapannya dengan Mingi, memastikan pria itu menjemputnya.

Song Mingi. Detail dari sesosok laki-laki yang mengisi hati Jeong Yunho akan dijelaskan nanti.

Mari kita dahulukan si kembar yang sebenarnya tidak 'kembar' ini.

Yunho lantas bangkit mengambil handuknya, berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara itu Yujin yang lebih dulu selesai dengan sarapannya, menunggu sampai Yunho menemui pangerannya. Yujin sendiri bagaimana? Ia terbiasa melakukan segalanya sendiri, berangkat ke sekolah sendiri, pulang sekolah pun sendiri. Mandiri? Bisa dibilang begitu. Tepatnya tidak mau kerepotan atau merepotkan orang lain.

***

"Malam ini ada jadwal?" Mingi menatap Yunho yang tengah mengaduk jus jeruknya sembari menopang dagu, yang ditanya mendongak menatap lawan bicaranya lantas mengangguk pelan kemudian menjawab,

"Ada. Aku ada pekerjaan mungkin selesai tengah malam? Mau mampir?" tanya Yunho menawarkan.

"Hmm... Boleh? Cuma mau sekedar lihat lihat sih. Lalu aku harus memesanmu?" kedua matanya membentuk bulan sabit, terkekeh pelan dengan ucapannya sementara Yunho hanya tersenyum simpul mencubit pipi kekasihnya.

"Itu juga tak masalah. Kamu kan jadi bisa mengobrol denganku.. Dengan nama dan pakaian yang berbeda tentunya."

"Aku mengerti kok, Julian." Mingi tersenyum meraih tangan Yunho yang mencubit pipinya, meraihnya untuk mengecupi jemari lentik milik pria yang sedikit lebih tinggi darinya itu.

***

Julian, sebuah nama panggilan yang ditentukan untuk dipakai Yunho saat bekerja. Sebagai pelajar tak seharusnya ia bekerja sebagai host.

Pria panggilan. Semacam itulah.

Yunho mengambil pekerjaan ini semata-mata karena ia menyukainya. Ia senang menjadi pendengar orang lain. Mendengarkan bagaimana orang lain bercerita tentang harinya atau bahkan hidupnya, membuat Yunho sedikit mensyukuri hidup. Ya walau terkadang ada saja yang ingin 'lebih' dari sekedar bercerita. Yunho tidak selalu melayani permintaan yang lebih dari itu. Sekalipun Mingi nampaknya akan memberi izin, sepertinya Yunho memang enggan melakukan hal-hal diluar batas. Kalau Yujin tau ia bisa diusir dari rumah.

"Julian. Ada tamu."

Seseorang memanggil 'nama'nya, memintanya untuk memulai jam kerja. Setelah dirasa penampilannya sudah rapi, Yunho pun berjalan menemui klien pertamanya. Bukan Mingi. Ia belum datang. Mungkin Mingi akan datang dua atau tiga jam lagi, mengingat anak itu aktif dengan ekskul olahraga yang cukup menyita waktu rasanya ia tak akan datang secepat ini. Yunho berdiri menatap klien nya. Memperhatikan penampilannya yang cukup berkelas. Yang memesannya malam ini adalah seorang pria yang nampak sedikit lebih dewasa darinya. Berpakaian rapi dan begitu tampan. Seperti seorang pengusaha kaya. Mungkin saja?.

"Selamat malam, namaku Julian. Boleh kutahu namamu, tuan?" tanya Yunho dengan ramah, sedikit menjaga jarak demi kenyamanan klien nya.

"Malam, Julian. Jangan terlalu formal. Duduklah disini" ucap si pria yang lantas menepuk tempat kosong disampingnya. Yunho mengangguk paham kemudian mendudukkan diri disamping sang adam tanpa menghapus senyum di wajahnya. Yah, itu menjadi salah satu alasan kenapa Yunho mendapat klien lebih banyak. Senyumannya bisa memikat siapapun yang melihatnya. Tampan dan manis.

"Namaku Danny. Kamu nampak manis, Julian." yang dipuji hanya tersenyum lantas menawarkan minuman yang sudah disajikan diatas meja.

"Silahkan minumannya, tuan. Jadi bagaimana harimu?" Yunho menatap pria didepannya yang kini meneguk minumannya. Ia memposisikan duduknya, sedikit memberi jarak namun tetap terlihat santai. Sudut bibir nya masih membentuk senyum, memperindah wajahnya. Aturan sekolahnya tidak memperbolehkan siswa maupun siswi nya mengecat rambut. Maka itu Yunho hanya menyemprotkan cat temporer pada rambutnya. Warna merah mudah yang tidak terlalu mencolok namun cukup terlihat seperti sebuah gulali.

"Cukup melelahkan. Pekerjaan ku semakin banyak. Rasanya butuh liburan yang cukup lama. Maka itu aku datang kemari sekedar me-refresh otak ku. Ahaha. Mungkin kalau dalam serial animasi sudah keluar asap dari kepalaku" pria itu terkekeh, kembali meneguk minumannya. Yunho yang mendengarkan ikut tertawa pelan. Ia memang tak paham seberat apa beban manusia berdasi seperti itu. Tapi dari ceritanya cukup melelahkan dan merepotkan. Kalau bisa ia mau duduk santai saja tanpa mengerjakan apa-apa, tapi uangnya mengalir. Bisa kan?

***

Drrrt drrrt

Ponsel milik Yunho bergetar didalam saku celananya. Sepertinya itu Yujin yang mengirimkan pesan. Alih-alih mengeceknya, Yunho memfokuskan diri untuk klien pertamanya.

Jam berlalu cukup cepat. Dua setengah jam Yunho berbincang dengan klien pertamanya tadi. Cukup normal, tak meminta hal-hal yang aneh. Yunho berjalan ke sudut ruangan, mengecek notifikasi ponselnya. Benar saja, dari Yujin.

Yunho tersenyum membaca deretan pesan dari Yujin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yunho tersenyum membaca deretan pesan dari Yujin. Kenapa dia se-khawatir itu. Lagipula Yunho bukan anak kecil yang akan tersesat di jalanan begitu saja. Yunho paham, Yujin seperti itu karena ia menyayangi Yunho. Mereka hanya memiliki satu sama lain saat ini setelah memutuskan untuk tidak memilih antara ayah maupun ibunya. Mengingatnya membuat Yunho meringis pelan. Begitu kelam, menyayat hati. Ia kembali memasukan ponsel kedalam saku, melanjutkan pekerjaannya yang terjeda. Baru saja ia ingin melangkah, seseorang menepuk bahunya. Kedua mata Yunho melebar menatap siapa yang kini berada persis disampingnya.

"Kau ini adiknya Yujin, kan?"

***

To be continue.

Jeong TwinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang