Layar ponsel itu masih gelap, tanda belum ada panggilan masuk. Si empunya mengetuk kaki ke lantai dengan resah, sementara kepalanya bergerak menengok jam di dekat lemari. Pukul 22.07 dan orang yang ditunggui tak kunjung mengabari. Apa mungkin sudah tak butuh lagi? Atau ia telah terganti?
Sebenarnya tak apa kalau prasangkanya terwujud, toh Nara dan si penelepon tak pernah ada hubungan. Bahkan sebatas nama pun tak tahu, hanya suara dan kebiasaannya yang kerap menelepon pada pukul 22.00 di hari Sabtu untuk bercerita perkara apa pun, lantas cepat memutus jika sudah berterima kasih telah mendengarkan. Suaranya khas seorang laki-laki baru dewasa--seperti kebanyakan teman lelaki Nara--atau perempuan dengan voice changer? Nara tak tahu pasti. Namun, mari menyebutnya lelaki.
Pada telepon pertama, keduanya sempat mengobrol. Perkenalan singkat, tetapi tak menyebut identitas, sekadar mengapa ada panggilan nyasar dengan nomor tak dikenal yang mampir. Katanya, ia cuma asal menekan nomor. Katanya pula, sudah sebulan lebih ia melakukan kebiasaan ini. Kalau beruntung, ada yang mendengarkan sampai usai. Kalau tidak, baru perkenalan, sambungan sudah diputus. Nara simpulkan lelaki itu cukup berada, lantaran harga pulsa cukup melonjak untuk satu kali telepon.
Sabtu ini—kalau ada panggilan—sudah kali kelima Nara jadi penerima. Ia yang minta, sebab tentu sulit mencari orang lagi untuk jadi pendengar di setiap malam Minggu, juga perasaan simpati Nara yang tinggi. Toh besok libur. Tak ada tanggungan bangun pagi untuk sekolah.
Lagi, Nara menengok jam. Pukul 22.15 dan ponselnya belum berdering. Bibir bawahnya tergigit. Apa sebaiknya ia tidur saja? Kembali pada rutinitas sebelum lelaki itu menelepon. Nara bangkit dari balkon. Baru akan beranjak saat ponselnya bergetar, menampilkan sederet angka yang akhir-akhir ini ia hapal.
Nara lekas duduk lagi, menekan tombol hijau guna mendengar suara yang diharap. Tanpa sadar kedua sudut bibirnya tertarik ke atas.
"Halo." Suara di seberang mengawali, sedikit lebih serak dari biasanya.
Nara menyimak sembari mendaftar tanya di kepala. Rencananya, sebelum sambungan dipotong, ia akan melontarkan banyak tanya.
"Halo?" Ulangnya. Memasti bahwa Nara masih ada, juga buat memutus keheningan yang sejenak tercipta.
"H-hai?" Balas Nara ragu. Tak biasanya lelaki itu begini, maka Nara mulai menaruh curiga. "Kenapa nggak langsung cerita? Aku masih nyimak, kok."
"Hari ini nggak ada cerita."
Kening Nara mengerut, mungkin ini penyebab panggilan sedikit terlambat. "Are you okay?"
"I'm okay."
"Boleh aku bertanya?" Sebelum sambungan diputus sebab tak ada bahasan, Nara teringat beberapa pertanyaan.
"Silakan."
Nara berdehem samar. "Boleh tahu, siapa namamu?" Sebenarnya ia juga ragu menanyakan ini, sebab mungkin menurut lelaki itu namanya lebih privasi daripada ceritanya. Bisa-bisa sambungan langsung diakhiri.
Duh, karenanya, Nara jadi ngeri pada bunyi tut-tut-tut.
Di seberang, lelaki itu menghela napas panjang. "Namaku Re. R dan E."
Yang perempuan itu tahu, nama tersebut bukan nama sebenarnya. "Bagus namanya."
Meski Nara bukan pemberi nasihat terbaik, ia ingat banyak hal yang diceritakan padanya. Termasuk saat lelaki itu berulang kali ingin dilahirkan kembali pada keluarga yang harmonis atau kalimat sejenisnya. Kendati pada akhirnya itu mustahil dan Re berarti mengulang lagi.
"Iya."
"Jangan tutup teleponnya, ya, Re. Kenapa percaya ke sembarang orang, sedangkan bisa telepon ke hotline resmi punya negara? Bukannya aku nolak, tapi baiknya percaya pada ahlinya, kan? Kalau nggak mau jawab, cukup bilang enggak. Jangan ditutup, oke?"
"Enggak ditutup." Berbeda dengan Nara yang resah, Re justru terkekeh. "Kamu mungkin masih ingat, aku nggak jago nulis. Kalau pun jago, blog bakal jadi pilihan, tapi pelajaran favoritku fisika. Menulis agaknya cukup boring buatku.
"Buat percaya orang asing daripada hotline? Gini, sedekat apapun kita, pada akhirnya bakal tetap asing, entah karena kematian atau takdir semesta. Tinggal tunggu waktu. Menurutku lebih baik sekalian asing dan begitu terus. Sakitnya nggak terlalu pedih."
Pernyataan barusan membuat Nara sakit hati. Ia dan Re memang sepasang asing dan sewajarnya itu, Nara tak diizinkan mengulik jauh.
"Hotline, ya? Mereka dipegang orang dewasa, sedang aku cuma bocah baru beranjak dewasa. Bukan prioritas. Lagi, masalahku tidak seberat mereka. Aku masih kuat sebab semesta baik, mempertemukan kita yang seumur agar leluasa bercerita, maka dari itu, makasih, ya. Maaf udah banyak merepotkan."
Kurang ajar, baru kali ini Nara dibuat menangis oleh orang tak dikenal. "Ini bukan salam perpisahan, kan?"
"Semoga buk-"
Suara pintu dibuka paksa terdengar. "Mau apa kamu anak kurang ajar?! Coba melapor?!" Bersamanya bunyi benda tumpul dilempar bersautan. "Mau mati?!"
Nara ingat, dalam segala cerita Re tentang dunia, tak pernah sekalipun ia menangis. Bahkan ketika ayahnya menyundut kulit dengan rokok atau saat ia terjatuh dari tangga lalu bangkit sendirian. Kata Ayahnya, lelaki tidak seharusnya menangis karena hal sepele. Nara tahu itu bagian dari toxic masculinity dan Re terlanjur hidup di bawah konsep tersebut.
BRAK! Nara menjengit bersama bunyi tut-tut-tut yang bertalu-talu. Suara Re sudah tiada lagi. Tangan yang kokoh, kini terkulai lemas di pangkuan.
Nara sudah menangis tersedu.
[.]
gara-gara admin cuek, ya udah post di sini aja
semoga suka, yaterima kasih sudah membaca
have a good day! 🌻fauzyhhn©
27 April 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Tut-tut-tut
Short StoryPada pukul sepuluh Setiap malam Minggu Nara selalu menunggu pict: pinterest