Yeseot

515 63 1
                                    

Sejak dulu, aku memang bukan tipe orang yang suka memendam apa yang kurasakan seperti halnya Icha. Entah senang, sedih, kesal, kecewa, marah, aku akan mengungkapkannya secara gamblang. Aku juga bukan orang yang menjaga ucapan seperti Icha. Apa yang ada di pikiran, itu yang mulutku keluarkan. Dan jatuhcinta kepada Om Daniel, adalah satu-satunya perasaan yang kusembunyikan dari siapa pun. Hanya aku dan Allah yang tahu.

Icha hanya tahu aku mengidolakan dan mengagumi ayahnya, seperti yang dilakukan Riska juga. Dia mungkin tidak akan menyangka jika aku benar-benar menjatuhkan hati. Memang sih aku sering berkata akan menjadikan Om Daniel pasanganku, yang artinya aku nanti adalah ibu tirinya di masa depan. Awalnya sih dia panik dan teriak-teriak tidak mau. Tapi belakangan ketika aku bicara begitu, dia hanya terbahak-bahak. Ya, dia menganggapku bercanda. Tidak tahu saja kalau aku seribu persen serius.

Dan aku kira semua orang juga berpikir begitu. Aku benar-benar tidak menduga kalau Alan akan tahu. Ya, aku dengan begonya lupa kalau seorang Alan itu adalah pengamat yang baik dan peka akan sekitar.

"Anjir! Lo tahu dari kapan?!" tanyaku waktu kami masih di mobil.

"Lama."

"Lama kapan?!"

Tapi cowok itu hanya tersenyum miring, yang membuatku mengumpat untuk ke sekian kalinya. Sialnya, pembicaraan berhenti di situ karena Alan mendapat telepon dari bosnya kalau ada pekerjaan mendadak. Akhirnya aku diturunkan di depan Louvre dan dia langsung pergi.

"Tumben ngelamun?"

Suara itu membuatku mendongak, menemukan cewek yang berdiri di sebelahku dengan kedua lengan memeluk nampan. Riska, salah satu pegawai Icha.

"Galau?"

Aku berdecih sinis. "Siapa itu galau?"

Riska berdecak, tapi ekspresinya langsung terlihat geli. "Iya juga ya? Buat apa seorang Zevania yang tangguh ini wasting time dengan galau?" Aku setuju dengan itu, apalagi di bagian kata 'tangguh'. "Ditolak Arya aja nggak galau ya?"

"Anjir!" Aku mendelik kesal. "Kapan gue ditolak Arya? Fitnah lo!"

"Hampir setahun lalu, sebelum lo fangirl-in Om Ahjussi."

Aku tertawa singkat, bermaksud mencemooh. "Gue nggak pernah nembak Arya dan otomatis nggak ada kata 'ditolak', dan lo jangan asal bacot. Gue nggak pernah jadi fangirl."

"Lah, selama ini sama Om Ahjussi ngapain?"

"Cuma kenal biasa elah." Aku memutar bola mata, malas. "Nggak kayak lo yang fanatik."

"Gue nggak fanatik ya!" Riska memelotot tidak terima. "Cuma, apa salahnya sih mengidolakan seseorang? Om Ahjussi juga tadinya masih single dan bebas gue, eh kita, idolain. Bahkan di hati gue, kedudukan Om Ahjussi tuh lebih tinggi dari Si Won, asal lo tahu!"

Aku hanya tertawa singkat, lalu kembali melempar pandangan ke luar jendela Louvre. Riska sendiri ikut duduk di sebelahku, dan kubiarkan saja. Siang ini Louvre memang cukup sepi pengunjung, karena itu Riska bisa bersantai. Di dalam, Icha sedang bersama suaminya yang selalu manja dan posesif, juga penganut PDA a.k.a public display of affection. Dan aku selalu geli-geli jijik jika laki-laki yang lebih tua sebelas tahun dari Icha itu melakukannya di depanku. Karena itu aku memilih duduk di sini.

"Tadi ada orang ngelamar kerja di sini, tahu, Zev."

Aku mengangkat kedua alis. "Kebetulan dong. Icha kan rencana mau nambah orang dapur."

Riska mengangguk. "Tadi udah dites juga, dan bisa bikin beberapa pastry sih."

Aku mengangguk-angguk. "Cewek?"

Saranghae, Om Ahjussi!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang