Setelah berbicara dengan Reni, Daffin memutuskan untuk kembali. Ia tidak ingin berlama-lama di sana terlebih lagi jika harus bertatapan dengan sang nenek, bukan karena Daffin takut justru karena ia merasa sangat bersalah pada neneknya tersebut.
Ketika Saga dan Sean hendak masuk ke dalam mobil, Aldo berlari dan meminta izin kepada Saga untuk berbicara sebentar dengan Daffin. Saga sempat ragu dan melarang namun Daffin menyakinkan jika mereka hanya akan berbicara sebentar dan Daffin akan baik-baik saja.
Dan disinilah mereka berdua sekarang, halaman belakang rumah yang selalu menjadi tempat persembunyian mereka berdua ketika di perintahkan untuk segera membersihkan diri setelah bermain seharian penuh.
"Gimana sekolah kamu?"
"Baik, sama kaya di sini ga ada yang aneh," jawab Daffin.
Aldo tampak terkekeh, "Aa denger kamu udah punya motor? Emang udah bisa naiknya? Atau masih minta bantuan orang lain buat gendong?" tanya Aldo dengan gelak tawa di akhir kalimatnya.
"Itukan dulu A, lagian waktu itukan Daffin masih sd tingginya aja cuma satu meter. Kapan-kapan deh Daffin ajak Luna main ke sini."
"Luna? Udah gak takut ni sama cewe?"
"Motor Daffin A, bukan cewe. Gimana sama teh Cia? Udah jalan dong harusnya."
"Lulus sma Cia mau nikah, bukan sama Aa tapi temen Aa."
"Serius A? Ko bisa? Wah Aa si sering nunggu di tikungan ga pernah nunggu di depan rumahnya jadi di tikungkan, kebanyakan nanti-nanti."
"Dia di jodohin."
"Anjir, zaman sekarang masih ada aja main jodoh-jodohan." Aldo langsung menyentil bibir Daffin, "Kenapa bahasanya gak sopan hm? Siapa yang ngajarin kamu kaya gitu? Kasih tau Aa biar Aa pites mulutnya."
Daffin meringis sembari memajukan bibirnya, "Sakit atuh A." Aldo hanya mengusak rambut Daffin sembari tersenyum.
"Daf, benar mereka keluarga kandung kamu?" Daffin mengangguk sebagai jawaban. Kemudian Daffin menatap lekat Aldo.
"Sejak kapak aa tau Daffin bukan anak kandung Ayah?" tanya Daffin.
"Pas kamu pergi ke kota buat lanjutin sekolah, dulu aa marah karena aa merasa gak adil ketika aa sekolah disini sementara kamu sekolah di kota. Maaf dulu Aa gak bisa bersikap dewasa, tapi sekarang Aa ngerti." Daffin kembali mengangguk sebagai respon. "Tapi denger Aa, mau kamu bukan sepupu Aa sekalipun. Aa bakal anggap kamu sodara Aa, Daffin bakal tetap jadi Dedenya Aa."
"Makasih A."
Aldo merengkuh tubuh Daffin kedalam pelukannya, "Kita keluarga tidak perlu berterimakasih."
"Kalo gak ngomong gitu entar tersinggung lagi, di kiranya Daffin gak tau terimakasih," cibir Daffin.
"Udah pinter kamu yah?"
"Ya iyalah A, Daffin di sana juga bel_"
Drett... Drett...
"Udah harus pulang yah?" Daffin mengangguk, "inget pesen Aa kalo ada apa-apa kabarin, ini nomor telpon Aa." Aldo menyerahkan secarik kertas kepada Daffin dan di terima dengan senang hati oleh Daffin.
"Iya Aa juga. Nanti kalo udah nyampe Daffin kabarin Aa."
Setelah itu Daffin bersama Aldo melangkahkan kakinya kembali ke halaman depan di mana mobil Saga terparkir. Sekali lagi Daffin pamit kepada Aldo di sertai senyuman tulus yang mengembang di wajahnya. Bahkan di balik kaca hitam mobil Daffin masih setia menatap kawasan rumah yang dulu ia habiskan di masa kecilnya.
"Makasih untuk semuanya," batin Daffin.
.
.
.
.
.
.Daffin sudah kembali ke rumahnya, beruntung perutnya kini dalam keadaan kenyang sehingga Daffin bisa langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur tanpa perduli jika nanti perutnya berkoar meminta makan.
Sementara Saga harus pergi ke kantor karena ada urusan penting yang harus ia selesaikan, lalu bagaimana dengan Sean? Itu masalahnya abangnya tersebut malah ikut merebahkan diri di atas tempat tidur Daffin, bahkan dengan sesuka hati menjadikan perut Daffin sebagai bantalan.
"Tidur di kamar sendiri napa, jangan di sini." Daffin berusaha mengangkat kepala Sean dari atas perutnya tapi sulit, kepala Sean terasa sangat berat seperti batu. Akhirnya Daffin menghindar dengan sedikit bergeser ke samping kanan, yups! Dan berhasil, tapi tanpa ambil pusing Sean ikut memundurkan tubuhnya dan kembali menjadikan perut Daffin sebagai bantal.
"Bang! Gua mau tidur!"
Sean menolehkan kepalanya dan menatap Daffin, "Ya tidur dek, abang juga mau tidur."
"Lu minggir lah anjir, mana bisa gw tidur kalo pala lu di perut gua," setelah mengatakan hal tersebut dengan refleks Daffin membekap mulutnya sendiri.
"Jangan bicara kasar lagi." Sean bangkit dan mendudukkan diri di tepian kasur.
"Eh?"
"Apa? Mau abang hukum? Kebetulan Daddy gak ada di rumah."
"Apaan si anjir, kagak takut gua."
"Berdiri!" ucap Sean dingin.
"Kagak mau."
"Berdiri!" sentak Sean namun Daffin masih menggelengkan kepalanya dan malah membalikan tubuhnya membelakangi Sean.
Sean tampak mengepalkan tangannya kemudian berjalan menghampiri sisi bagian kasur lainnya. Sean menarik tubuh Daffin agar bangkit, Daffin tentu saja terkejut ia hampir saja memejamkan matanya ketika Sean tanpa aba-aba menarik tubuh Daffin.
Sean benar-benar menyeret Daffin hingga hampir saja Daffin terjatuh dari atas kasur, beruntung ia memiliki refleks tubuh yang baik.Sementara Sean yang sepertinya sudah di ambang kemarahan kembali menyeret Daffin agar turun dari atas kasur, Daffin yang belum sepenuhnya sadar dari rasa terkejutnya akhirnya jatuh tersungkur, ia meringis menahan sakit terutama di bagian lutut dan sikunya.
Tanpa memperdulikan rasa sakitnya Daffin bangkit sembari melayangkan sebuah pukulan pada rahang Sean di sertai dengan tatapan nyalang, "Lu kalo mau ngajak ribut, bilang anjir. Lu pikir gua takut sama lu."
Sean tersungkur karena pukulan Daffin, ia berdecih kemudian bangkit kembali dan tepat sebelum sebuah pukulan bersarang di wajah Daffin tiba-tiba seseorang datang.
"Sean!" Mereka lupa jika di rumah ini masih ada nenek dan kakek mereka, tentu saja kegaduhan yang terjadi tidak akan di biarkan begitu saja oleh keduanya. Jika saja kamar Daffin kedap suara, entah apa yang akan terjadi.
Dengan terburu-buru Anin menghampiri mereka kemudian mengisyaratkan Daffin untuk berada di belakangnya, "Apa yang kalian lakukan?!"
Sean menaruh kembali lengannya di samping badan, "Tidak terjadi apa-apa kami hanya bermain," ujar Sean.
"Bermain? Lalu ini apa?" ujar Anin sembari mengusap luka pada rahang Sean, "jangan berbohong pada nenek, Sean."
"Tidak ap_"
"Kenapa berteriak? Ada apa ini?" Sean sadar jika sebentar lagi masalah besar akan menimpa pada dirinya juga Daffin. Dipta yang sedang bersantai di bawah segera saja datang mendengar sang istri berteriak namun apa yang kini ia lihat membuat keningnya berkerut. "Kalian bertengkar?"
Damd! Selesai sudah.
°°°°°
Up agy! Kalo ada typo maaf yah
Maaf banget 2 minggu kedepannya Daffin bakal jarang banget up.
Kenapa? Aku mau UKK
Do'ain ya semoga lancar dan jawabannya gampang🤣See u next time
Jika suka chapter ini jangan lupa? Nah itu dia
👇(¯\_(☯෴☯)_/¯)👇
KAMU SEDANG MEMBACA
Daffin
Teen Fiction"Sebelah sini tuan." "Dobrak pintunya." . . . "Kenapa pintu kosan gua jadi kaya gini, anjir?" °°°°°°°°°° [No Copying !] ᕙ(⇀‸↼‶)ᕗ Hargai karya seseorangʕ·ᴥ·ʔ 📌Sorry for typo 📌Bahasa semi-baku 📌Terdapat kata-kata kasar Tindakan dan ucapan yang ka...