Telpon darurat itu datang tengah malam. Ini adalah shift malam pertamaku, sekaligus pekerjaan resmi pertamaku. Sebagai seorang lulusan ilmu kriminologi Universitas terbaik di negara bagianku, merupakan sebuah kebanggaan tersendiri ketika aku bisa melihat namaku tercetak di lembar pengumuman penerimaan staf forensik yang baru. Sejak kuliah dulu, aku bisa dibilang sebagai salah satu mahasiswi yang biasa saja, namun untuk setiap kelas diskusi dan penyelesaian masalah, aku selalu yang terbaik. Apalagi masalah menghadapi langsung psikologis si korban maupun pelaku, penyelesaianku selalu yang paling baik. Setiap temanku pasti bertanya seusai sesi kelas-kelas tersebut.
"Em, kok kamu bisa secerdik itu sih dalam menemukan kejanggalan pola pikir pelaku dan akhirnya kamu bisa memaksa dia untuk menyampampaikan kejujuran sampai sedemikian rupa?" salah satu temanku, Viviane sekali pernah bertanya.
"Aku ngak tau, Vi. Natural saja aku mengatakan itu semua", selalu jadi jawabanku. Karena jujur saja, aku juga tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi padaku. Begitu natural dan demikian saja domino itu kutata dan masalah apapun yang kuhadapi tidak punya pilihan lain selain menerjang balok pertama dan semua nya akan berjatuhan memberikan apa yang memang aku butuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan itu.
Aku selalu membayangkan bahwa dunia pekerjaan akan sama asiknya dengan dunia kuliah dulu. Atau ya, semenyenangkan dunia kerja di acara televise barat favoritku, Crime Scene Investigation di mana semuanya tampak tertata dan menarik. Aku selalu ngotot dengan Papa perihal nasib ku dalam kerja. Papa bilang semuanya akan berbeda, dan aku akan perlahan mulai membencinya, kemudian akan benar-benar mencintai pekerjaanku, bila memang sesuai dengan passion ku. Namun aku selalu mendeklarasikan bahwa aku pasti akan menyukai pekerjaanku ini karena memang ini yang aku inginkan dari dulu kala.
Jujur saja aku juga tidak tahu apa maksud papa. Aku hanya tahu bahwa pendapatku terhadap masalahku sendiri harus benar. Dan aku yakin akan hal itu.
Apa maksudnya aka nada momen di mana aku membenci pekerjaanku? Rasanya papa dan mama tak pernah ada keluhan mengenai pekerjaan? Mungkin mereka hanya menakut-nakuti saja agar aku benar-benar serius dalam melakukan apapun yang aku lakukan. Ya, kurasa itu saja alasasnnya.
So I didn't think it through anymore deeper, just that shallow, I then stopped.
Kembali ke malam ini, kenyataan sudah ada di depan mataku. Orang bilang yang pertama akan jadi pembuka jalan, bila aku melakukan dengan baik. Bila tidak, ya akan begitulah stigma orang lain kepada aku. Dan aku mau, stigma orang lain, terutama atasanku, baik terhadap aku.
Kulangkahkan kakiku keluar dari mobil. Heels-boot hitam-ku menyetuh tanah pertama kali, menjadi tumpuan bagi tubuhku sehingga aku bisa berdiri tegak dan menutup pintu mobil. Aku berjalan kea rah bagasi di belakang dan membukanya perlahan. Seketika, rasa takut dan paranoia kembali hadir di pikiranku. Rahasia yang dulu kubanggakan lalu kukuburkan dalam ke tanah, bagai merayap perlahan kembali ke permukaan. Detik demi detik berlalu lambat ketika rasa takut merayapi aku, mulai memeluk kedua kakiku dan naik ke atas. Ego dan ambisiku seketika hadir sebagai pahlawan dan mengingatkan aku untuk tidak mau kalah dengan situasu itu. Jadi, kugelengkan kepalaku, dan benar saja. Ketakutan itu perlahan rontok, jatuh dan hilang, begitu jauh, dan kini bebas aku rasanya.
Kuputuskan segala rantai pikiran negatifku dan segera kupasang rompi kerjaku, lengkap dengan kartu ID,bertuliskan Emily Taylor, dan tak ketinggalan segala peralatan forensic lainnya yang sudah selalu siap tertata rapi dalam tas hitam kotak. Dengan dagu yang diangkat dan tatapan mata lurus ke depan, aku menarik napas panjang dan bersiap melangkah maju.
Bagian luar teras rumah itu sudah benar-benar ramai. Beberapa mobil polisi dan lampu merah-birunya menerangi malam yang tak berbulan itu. Beberapa orang yang tampaknya merupakan tetangga korban, masih dalam pakaian tidur dan sandal rumah tampak ingin tahu terhadap apa yang terjadi. Bahkan beberapa dari mereka ada yang membawa ponsel dan merekam kejadian itu. Beberapa polisi pun akhirnya harus mengamankan ponsel mereka dan bagai menyekolahi mereka lagi, mengatakan bahwa tidak sepatutnya hal seperti ini diabadikan apalagi disebar di dunia maya lengkap dengan caption hoaks dan rasa belasungkawa kalengan yang sungguh tak berguna.