| Chapter 28 |
Sial! Caya merutuk seekor kecoak yang tiba-tiba hinggap di wajahnya. Caya bukannya takut dengan makhluk kecil yang dibenci semua orang itu, ia hanya terkejut. Siapa yang tidak terkejut jika ada yang menemplok di wajah tanpa aba-aba? Terkutuklah wahai kecoak!
Melihat Sraga dan Yori yang menoleh ke arah lemari, membuat Caya menggigit bibir. Dia semakin menyelipkan tubuh ke sela belakang lemari tersebut. Tadi itu tangannya tak sengaja mengenai bagian sisi lemari. Alhasil, menyebabkan sebuah suara yang cukup besar dan mengejutkan. Untungnya Caya bisa menahan diri untuk tidak menjerit.
“Apa itu?” Ini suara Yori, terdengar bersamaan langkah kaki yang mendekat.
“Sudah, biarkan saja. Paling hanya hewan pengerat,” cegah Sraga. Lengan Yori dicekal olehnya, kemudian melanjutkan, “Ayo, minum vitamin dulu sebelum kau istirahat. Kesehatanmu sangat penting. Jangan sampai sesuatu yang buruk terjadi padamu.”
Setelah percakapan antara ayah dan anak itu selesai, Caya menghela napas. Dengan berani dia keluar dari tempat persembunyiannya—karena Sraga sudah membawa Yori keluar dari ruangan ini. Caya meneliti sekitar. Berusaha mencari sesuatu yang penting.
Sepertinya ruangan ini adalah sebuah laboratorium. Peralatan yang dari tadi terlihat oleh Caya hampir semuanya berhubungan dengan dunia penelitian. Ada juga sebuah papan kaca di sisi kiri ruangan, yang memperlihatkan tulisan dan garis-garis yang dilukiskan menggunakan spidol merah.
Tak sengaja, pandangan Caya tertuju pada sesuatu yang terdapat di salah satu kaki papan kaca itu. Sebuah tombol berbentuk bulat kecil, dengan sebuah kertas yang menempel di bawahnya. Caya yang sudah penasaran tingkat tinggi, segera menekan tombol tersebut dalam sekali tekan. Dan selanjutnya ia malah dibuat terlonjak kaget.
Sebab, setelah menekan tombol itu, papan kaca berubah menjadi papan kaca lain. Isinya berubah. Yang sekarang menunjukkan potongan-potongan kertas dan garis merah yang sama seperti sebelumnya. Kertas-kertas tersebut saling merangkai satu sama lain. Menciptakan rangkaian kalimat yang akan membuat sebuah paragraf demi paragraf.
Keningnya mengernyit begitu membaca potongan kertas yang terletak di paling atas. Dalam kertas itu tertulis: “Harno Zulkidin, pria yang lahir di Bogor pada tanggal 19 Maret 1876, adalah salah satu politikus negara. Saat itu, Harno termasuk ke dalam jajaran orang penting. Ia cukup dijunjung dan dihormati oleh orang-orang pribumi.”
“Harno....” Caya berusaha mengingat nama itu. Sampai akhirnya, dia teringat saat Rajit membacakan robekan kertas dari sela-sela buku milik Caroline.
Caya kembali mengarahkan pandangan pada papan tersebut. Di papan itu pun ada dua buah foto wajah yang masing-masing diberi lingkaran merah dan dituliskan nama. Salah satunya dituliskan nama Harno—yang omong-omong memiliki bentuk wajah bulat, dengan mata sedikit sipit dan tatapan tajam. Caya dapat menduga-duga kalau Harno memiliki bentuk tubuh yang tidak terlalu gempal.
“Bersama anak buahnya—yang terdiri dari 45 orang—Harno melancarkan aksinya. Awalnya mereka menawarkan pekerjaan dengan upah yang cukup tinggi, namun terrnyata pekerjaan itu hanya kedok untuk aksi mereka. Pekerja yang dipilih semuanya perempuan, dan setengah dari itu adalah anak di bawah umur. Para perempuan itu dipaksa untuk melakukan pekerjaan kotor.” Begitu yang tertulis di kertas selanjutnya.
Lalu, dilanjutkan dengan kertas yang berbunyi: “Orang tua dari perempuan-perempuan itu hanya bisa pasrah. Mereka diimingi-imingi uang oleh Harno, dan juga diancam akan membunuh keluarga dari perempuan tersebut. Tidak ada yang bisa melarikan diri dari jeratan Harno. Karena pria itu menempatkan para korbannya di tempat yang sangat tertutup.”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost History; S-156 [Book 2]✔
FantasyHilangnya Buku S-156 dari Istana membuat mereka kembali mengalami petualangan gila untuk yang kedua kalinya. |•| [The Lost Series; Book 2 : S-156] Misi untuk menemukan buku yang hilang malah membuat Caya dan teman-temannya bertemu dengan satu makhl...