B. Dua Puluh Sembilan - Tiga Kasus yang Sama

68 13 2
                                    

| Chapter 29 |

“Minumlah dulu, agar kau merasa lebih baik.” Yori menyerahkan segelas air bening ke hadapan Caya, kemudian ikut duduk di samping gadis itu.

Caya mengambil alih gelas tersebut dan menenggaknya perlahan. Setelahnya dia hanya diam. Menatap lurus pada sisa air di gelas yang masih digenggamnya tanpa berkedip. Sebenarnya Caya sedikit syok akibat kejadian tadi. Ditambah pikirannya tak bisa diam memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk.

“Kau Cayara?” tanya Sraga dari sofa utama.

“Iya, aku Cayara,” balas Caya, nada suaranya terdengar lemas. Kemudian, ia tersenyum tipis. “Maaf jika aku merepotkan. Aku tidak tahu hal seperti ini akan terjadi.”

Sraga melipat lengan. “Memang, tidak ada yang tahu jika kejadian menyebalkan itu terjadi padamu. Berterima kasihlah pada putraku. Berkatnya, hatiku tergerak untuk menolongmu dari jeratan orang-orang tidak waras itu.”

Benar apa yang dikatakannya barusan, Sraga tidak akan bergerak kalau Yori tidak memohon-mohon dengan wajah se-melas mungkin padanya. Yori tidak bisa menolong Caya sendirian, dia butuh bantuan orang lain. Dan orang lain yang tertangkap matanya saat itu hanyalah Sraga. Jadi, Sraga menjadi pilihan satu-satunya—walau Yori tahu, ayahnya tidak akan mau menolong sebelum dipaksa.

Mereka berdua bisa menemukan keberadaan Caya berkat alat penemuan Sraga. Sraga memang secerdas itu menciptakan sesuatu, namun kurang dilirik oleh perusahaan sains. Omong-omong, saat Yori dipeluk tiba-tiba oleh Caya, Yori terkejut bukan main. Pelukannya hangat—sama seperti pelukannya Caroline. Makanya Yori tidak sengaja menyebut Caya dengan sebutan ‘Oline’, dan untungnya gadis itu tidak sadar.

“Jadi, kau berniat untuk mencuri buku itu dari tempatku?”

Caya kembali tertarik ke alam nyata. Matanya mengerjap beberapa kali, sebelum mengarahkan pandang kepada Sraga. “Kau pintar ternyata,” ucapnya pelan. “Apakah salah jika aku meminta balik barang yang berasal dari zamanku?”

Di tempatnya, Sraga tersenyum miring. “Tidak juga. Sebenarnya rencanamu itu akan berjalan mulus, kalau saja orang-orang itu tidak membekapmu dan mengurungmu.”

“Asal kautahu, mereka mengira aku adalah Caroline,” tutur Caya. “Mereka memaksaku untuk memberitahu di mana Yori menyembunyikan patung itu. Kalau kau dan Yori tidak datang tepat waktu, mungkin aku akan mati menyusul Caroline. Untung saja kau baik hati, Pak Sraga.”

“Wajar, karena kau memang mirip dengan gadis itu—kalau boleh kusebut, kau seperti kembarannya.” Sraga berdiri, lalu memutar pinggang ke kanan dan ke kiri. “Aku lapar. Silakan kau berbicara empat mata dengan Lui, selagi aku mengisi cacing di perutku ini.”

“Aku ingin bertanya sesuatu padamu.”

“Nanti saja. Sekarang aku butuh asupan karena tadi tenagaku terbuang banyak. Nikmati saja waktumu bersama Lui. Aku akan memantau dari dapur.”

Kedua pasang mata anak muda itu mengikuti arah Sraga pergi. Hingga sosok Sraga memasuki pantry, mereka masih saling diam. Beberapa kali Yori berdeham dan melirik Caya. Gadis itu terlihat sudah jauh lebih baik dibandingkan tadi.

“Cayara, bagaimana bisa kau ke tempat ini?” Yori yang pertama kali buka suara.

Yang ditujukan pertanyaan tersebut menoleh. Tanpa berani menatap balik sepasang manik terang di hadapannya, Caya berucap, “Gue nemu kartu hitam itu di bawah meja belajar. Kayaknya lo nggak sengaja ngejatuhin kartu itu di sana.”

Yori mengangkat kedua alisnya. “Kenapa cara bicaramu berubah lagi? Aku menyukai cara bicaramu tadi—terdengar lebih nyaman di telinga.”

“Tadi gue bicara kaku banget kayak gitu biar nggak dikritik sama Ayah lo. Dan kesannya lebih sopan aja gitu,” jelas Caya sejujurnya. “Kalau sama lo, kayaknya nggak perlu bicara sekaku itu. Mulut gue juga nggak terbiasa, yang ada malah ribet.”

The Lost History; S-156 [Book 2]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang