Jehan menduga jika hidupnya setelah sang ibu pergi memang hanya ada kekosongan, kesepian dan kesendirian. Jika dipikir-pikir kembali dia juga tidak mempermasalahkan hal itu karena sejak awal pun ia sudah terbiasa dan cukup bersahabat dengan kesendirian. Jehan juga tidak terlalu tertarik untuk berinteraksi bahkan mengiyakan seseorang untuk dekat dengannya karena ia lebih bebas dan nyaman hidup sendiri tanpa harus dekat dengan orang lain.
Jehan bahkan sudah memutuskan untuk menjalani kehidupannya dengan tenang, senang dan bebas dengan caranya sendiri tanpa campur tangan orang lain. Namun nyatanya keputusannya itu bagaikan gula kapas yang tidak bisa bertahan lama saat terkena air. Jehan merasa telah membohongi dan mengingkari keputusannya dengan mengizinkan seseorang dekat dengannya.
Seperti halnya saat ini ia duduk anteng di sofa beludru disebuah ruangan yang bisa dikatakan jauh lebih luas dari kamarnya. Bersih dan rapi bahkan sejak awal ia masuk tidak menyangka jika penghuni sekaligus pemiliknya ternyata suka kebersihan. Lamunan Jehan terpecah saat sebuah cangkir dengan kepulan asap mendarat di hadapannya. Aroma coklat yang khas menyambangi seiring iris maniknya bertatapan dengan mata hazel yang berada di hadapannya.
"Minumlah"
Jehan mengangguk ringan lantas meraih cangkir itu dan perlahan menyeruput cairan hangat nan manis tersebut dengan manik menjelajahi seluruh tempat luas ini.
"Jangan mengamatinya terlalu lama. Aku tau kau tidak percaya jika tempat sebersih ini dihuni orang sepertiku bukan?" Sindirnya yang berhasil memutus kegiatan Jehan.
Gadis itu mendengus sejenak lantas menaruh cangkirnya dimeja. Ia menatap kembali kearah Jimin dengan raut wajah datar walau kedua matanya bengkak karena menangis tadi "Memang tampang sepertimu sulit dipercaya"
Jimin mendesis lalu menyeruput coklat panasnya sembari curi pandang menatap Jehan yang sibuk mengamati setiap sudut ruangan apartemennya kembali. Ditaruhnya minuman panas itu dan melipat kedua lengannya dengan pundak menyender pada sofa. Jimin diam menatap Jehan yang sepertinya belum sadar dengan eksistensi manik hazel memantaunya.
"Jadi apa kau tidak berniat bertanya sesuatu?" Lontarnya yang berhasil menarik atensi Jehan.
Gadis itu terdiam sejenak sembari mengamati jemarinya yang saling mengetuk satu sama lain. Dengan perlahan ia mengangkat kepalanya membuat pandangan mereka bertemu kembali. Jehan menarik nafasnya "Kenapa kau menawariku pulang bersamamu alih-alih tidak membawaku pulang ke rumahku sendiri?"
Jimin tersenyum tipis sangat tipis bahkan Jehan saja tidak bisa mengetahui apakah Jimin tersenyum ataukah hanya menatap datar. "Karena aku tidak sengaja mengetahui kejadiannya"
Jehan mengerutkan keningnya "Maksudmu kau tau jika ak--"
"Kau tidak perlu mengungkit kejadian menyakitkan itu jika tidak mau sedih. Sudah cukup dirimu menangis sampai kedua matamu seperti tersengat lebah." Selanya "Maaf jika lancang tapi aku benar-benar tidak sengaja melihatnya tadi"
Jehan terdiam lalu memejamkan maniknya dan mengangguk ringan. Ia sandarkan punggung lelahnya pada sofa dengan kedua mata tertutup. Apakah semenyedihkan ini hidupnya hingga orang lainpun tau akan masalah yang dirinya alami.
Sedangkan Jimin masih tetap mengamati Jehan. Dalam benaknya berpikir jika dibalik sosok angkuh Na Jehan ternyata tersembunyi jiwa rapuh yang tidak memiliki tempat untuk berlindung. Dirinya juga tidak menyangka jika hidup gadis ini jauh lebih menyedihkan dari hidupnya bahkan dalam hati kecilnya terbesit rasa ingin melindungi. Menjadi rumah bagi gadis itu untuk berkeluh kesah dan menyemangatinya. Jimin ingin namun, ia masih butuh waktu untuk mengetahui secara jelas sosok seperti apakah gadis di hadapannya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
ETHEREAL
FanfictionRyu Jimin dipertemukan dengan seorang gadis yang berhasil menghentikan aksi bunuh dirinya. Pertemuan yang tak disengaja tersebut membuat mereka saling mengetahui problematik kehidupan satu sama lain. Dari hal terkecil hingga menguak kebenaran yang s...