Sagara-6

1.2K 175 45
                                    

◇◇◇

Langit Bandung kala itu kelabu. Sudah bisa ditebak kalau sebentar lagi air akan segera tumpah dari atas sana. Akhir-akhir ini memang sering terjadi hujan. Meski kini tengah menginjak bulan Juli, yang semestinya sudah memasuki musim kamarau.

Semilir angin sejuk menerpa wajah Saga dan satu pria paruh baya yang ada di hadapannya saat ini.

"Kenapa minta ketemu Bapak? Sudah menjadi peringkat satu?"

"Saga masih di peringkat tiga Pak, maaf. Tapi Saga datang kesini karena udah lama nggak ketemu Bapak. Saga cuma rindu Pak."

Pikiran Saga terpaksa melayang ke masa-masa kecilnya. Di mana saat itu, hanya ada canda dan tawa yang keluar dari bibir mungilnya. Dulu Saga tak pernah menyingkir dari peringkat satu. Sang ayah selalu membanggakan dirinya pada teman-teman juga para tetangga.

Ini Sagara, anak kesayangam saya, jagoan saya, anak hebat dan cerdas. Saya bangga dan bersyukur sekali kalau Saga ini menjadi anak yang Tuhan titipkan pada saya.

Saga tersenyum tipis mengingat semua itu. Bukan hanya itu, dulu Saga lebih banyak menghabiskan waktu dengan ayahnya ketimbang ibunya. Entah itu jalan-jalan, bermain bola, layangan, bahkan semua mainan dan baju yang Saga punya adalah hasil belanja ayahnya. Saat Saga sakit pun ayahnya akan menangis lebih lama dari pada ibunya.

Pria berseragam PNS itu tersenyum miris. Rupanya ia juga memikirkan hal yang sama dengan Saga. Sayangnya, sekarang semua itu menjadi kenangan pahit yang ia rasakan.

"Bapak pernah bilang 'kan? Kalau belum bisa jadi peringkat satu, nggak usah temuin Bapak. Malu Saga," jawabnya. Matanya bahkan tak lepas dari ponsel yang beberapa saat lalu ia mainkan. Hanya peralihan saja.

Sakit rasanya, seolah Saga bukanlah siapa-siapa bagi pria yang ia panggil bapak itu. Pria yang turut andil dalam keberadaannya di dunia ini.

Damar, ayah biologis Saga yang memilih pergi akibat kesalahan di antara dirinya dan Indah. Berujung pada Saga yang menjadi korban atas keegoisan keduanya.

"Tapi Bapak masih menganggap Saga putra Bapak, kan?"

Damar terdiam, menimang apa yang harus ia katakan agar Saga cepat pergi dari kediamannya. Terdengar kejam memang, tetapi Damar memiliki alasan yang kuat mengapa ia tidak ingin berlama-lama bersama sang anak.

"Lebih baik kamu pulang aja, sebentar lagi hujan turun. Jangan datang ke sini kalau kamu belum bisa ngalahin Lintang di peringkat satu," ucapnya seraya memasukkan ponsel ke dalam saku celananya.

Saga menatap langit mendung kala itu. Benar, sepertinya hujan akan segera turun menemaninya meluapkan air. Mendapatkan perlakuan seperti itu, tentu saja membuat Saga ingin menangis. Meski dia laki-laki, tetapi tetap saja ia perlu meluapkan emosinya.

"Baik Pak, kalo gitu Saga pamit pulang. Sehat-sehat ya, Pak," ucapnya mencoba menahan emosi dan berusaha tersenyum. Ia pun menyalami tangan besar Damar sebelum ia mengucap salam dan berlalu.

Dari dalam rumah, keluar seorang pemuda seusia Saga. Ia membawa sebuah mantel. Berjalan melewati Damar lalu menyusul Saga ke luar gerbang.

"Ga!"

Saga yang hendak menyalakan mesin motor pun menoleh.

"Pake ini, udah gerimis." Lelaki itu memberikan mantelnya kepada Saga.

Saga tersenyum seraya menerimanya. "Makasih Lin, tapi–"

"Pake aja, balikin kalo lo udah bisa ngalahin gue—Lintang Wirasana." Lelaki itu kemudian meninggalkan Saga. Wajahnya selalu datar, tetapi Saga akui, saudara tirinya itu amat baik dan penurut.

Sagara [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang