10 •• Ibu dan Ayah ••

24 8 9
                                    

Kedua mata gadis berkulit putih pucat itu terbuka perlahan. Hari masih gelap. Dan tubuhnya terasa kebas.

Dingin.

Ia menarik selimutnya menutup sebatas leher. Memejamkan matanya. Namun kemudian ia kembali mengerjap. Merasakan pelukan di pinggangnya.

Pandangannya mengedar. Gelap. Hanya cahaya bulan yang menembus tirai ruangan itu saja penerangan yang ada.

'Ah... Begitu.' Mengulurkan tangannya. Ia memijit pelipisnya saat hal yang terjadi semalam kembali terlintas di kepalanya.

Benar atau tidak tindakannya. Bahkan ia sama sekali tak tau. Apakah leluhurnya dahulu pernah melakukan kesalahan yang sama sepertinya.

Kesatria putih jatuh cinta?

Omong kosong. Kesatria putih hanyalah seperangkat pedang dan perisai bagi suku mereka. Melindungi penduduk dari berbagai sisi meski harus menantang kata 'mati'. Tugasnya hanya berperang jauh di luar perbatasan desa untuk menjaga penduduk yang tinggal. Perempuan emperian lain, hanya tau bagaimana rasanya memasak, menjahit, merawat anak dan tak mengenal kata 'bahaya' di kamus mereka karena para kesatria putih yang berkorban di garis terdepan melindungi pasukan dan desa.

Namun, lain halnya dengan Luna.

Terlahir sebagai gadis berambut paling cerah di sukunya. Sebagai satu-satunya gadis yang menyandang gelar kesatria putih dan merasakan langsung perang beserta rasa kehilangan di depan matanya. Jika darahnya menetes setitik saja ke tanah, seluruh darah Empress akan merasakan ketakutan dan kekhawatiran luar biasa.

Giginya pernah tanggal di peperangan pertamanya. Dan darah dari mulutnya menetes keluar. Sepulang pasukan dengan kemenangan telak mereka, seluruh penduduk desa menangis menyambut kepulangannya.

Tugasnya berat. Dan ia menyadari hal itu.

Tapi kali ini, apakah kesalahannya bisa dimaafkan?

"Apa sudah waktunya persiapan ke kota?" Pria yang sejak tadi terlelap di sampingnya membuka kedua matanya. Mengintip ke balik tirai kamarnya.

"Eung. Sebaiknya kita segera turun. Kau harus ke kantor bendahara, kan?" Luna menegakkan tubuhnya. Meraih pakaiannya yang masih tersebar di lantai.

Ia menegakkan kepalanya saat tak mendengar jawaban dari pria yang ada di sisinya. Menaikkan sebelah alisnya.

"Ada apa?" Gumamnya lirih disertai picingan mata.

Benedict tertawa kecil. Ia menghela nafas. "Tidak... Hanya saja, kau terlihat semakin cantik." Ia kemudian menyangga kepalanya dengan lengan diatas lututnya.

"Apa itu? Berarti aku tidak cantik sebelumnya?"

"Hey, bukan begitu maksudku! Aaah... Kau ini..."

***

Hanya seperempat bagian pasukan saja yang ikut berangkat ke kota. Bulan lalu, Hunus dan Benedict berangkat memimpin ke kota, sedangkan Luna bersiaga di desa. Dan sekarang, Benedict dan Luna yang akan memimpin perjalanan ke kota. Sedangkan Hunus bersiaga di desa.

"Kau tidak pulang semalam?" Suara Arthur terdengar beberapa saat setelah Luna menaiki kudanya.

Pria bertubuh tinggi yang membantunya naik itu, memandangnya dengan mata yang memicing.

"Aahh... Aku tidak tidur semalam karena mempersiapkan Trias di rumah Benedict." Gadis itu kemudian mengalihkan pandangannya. Menghindari tatapan mata pria itu.

"Ah, begitu?" Jawabnya yang langsung membuat Luna menghela nafas lega.

"Mana mungkin aku percaya? Bukan begitu?" Lanjutnya.

My Empress | CIXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang