Beberapa hari kemudian, Fede sudah kembali ke Roma dan Luca sibuk dengan pekerjaannya (meskipun dia tak pernah menghentikan lini komunikasi). Cuaca di luar masih di bawah nol derajat, mukaku beku dan ujung telingaku sakit saking dinginnya seperti disengat segerombol semut yang enggan pergi. Aku kembali ke apartemen Luca dengan perasaan yang benar-benar berbeda dari waktu pertama kali aku ke tempat itu. Rasanya seperti ketika aku mendarat di Italia enam bulan lalu. Bahkan udara yang ku hirup terasa berbeda, membuat tubuhku bergetar, bahkan hatiku juga. Entah karena aku gugup atau karena aku akan bertemu dengannya, seperti kutub magnet yang bergetar sebelum tertarik dan melekat erat pada kutub yang berlawanan.
Ketika aku membuka pintu tanpa mengetuk, Luca masih mengenakan scrub berwarna biru langit yang terlihat pas di tubuhnya yang berotot. Surat mukanya tampak serius, menata meja makan. Luca menoleh ke arahku, dan bisa ku lihat matanya membesar. Matanya membesar, bibirnya merekah seperti bunga di musim semi, dan raut wajah seriusnya menghilang seperti tulisan di pasir yang tersapu ombak, tak ada jejak. Dari ekspresinya saja aku bisa tau, dia mencintaiku. Sadar akan hal itu, jantungku berdebar kencang sampai aku bisa mendengarnya dengan telingaku sendiri. Ketika mata kami bertemu, hatiku ngilu karena rindu seakan dia adalah sesuatu yang telah lama hilang dan akhirnya ditemukan.
"Hey! Welcome home!"
Welcome home. Seakan aku sudah tinggal di rumah ini dengannya sejak awal, dan aku baru kembali dari perjalanan yang jauh.
"Kamu ga kedinginan?" Tanyanya dengan tergesa-gesa. "Kalo Nonna tau, dia bakal marah kamu ga pake syal yang dia bikin." Luca menggosokkan kedua telapak tangannya meniupkan uap pada keduanya lalu menempelkan mereka kedua ke telingaku yang sudah mati rasa. Aku memandangi dan menginspeksi wajahnya tanpa mengeluarkan suara, seperti anak kecil yang menemukan sesuatu untuk pertama kalinya. Hangat tubuhnya menjalar dari tangannya ke telingaku, ke seluruh tubuhku, jantungku berontak ingin keluar dari rusukku dan meledak. Nafasnya yang hangat berhembus di keningku. Aku masih menatap wajahnya seakan aku lupa cara untuk hidup. "Halo?" Dia memindahkan telapak tangannya ke pipiku. Mataku akhirnya berkedip.
"Ayo masuk, kamu ga akan diem di daun pintu semaleman kan?" Dia meraih gagang koper di tangan kiriku, tangannya yang menyentuh tanganku dengan sangat singkat saja membakar sesuatu dalam diriku. "Maaf ya ga bisa bantu packing, you know I had to work... Liat aku belum sempet mandi dan ganti baju."
It's okay. Kataku. Tapi sepertinya ucapanku itu tak keluar dari mulutku. Ada apa denganku? Luca memandangku sekilas, menyadari ada yang salah denganku tapi kemudian melanjutkan "Makanannya masih di masak, masih ada waktu."
Aku harap itu bukan pasta atau spaghetti. Suaraku masih belum kembali.
"Tenang aku ga masak pasta atau spaghetti. Kamu emang aneh, datang ke negara pasta tapi ga suka pasta." Luca membaca pikiranku seperti membaca buku dongen sebelum tidur. "Kayaknya tenggorokan kamu masih beku, atau entah kenapa. Aku mandi dulu ya, baik-baik di sini." Luca mengusap pundakku, mengacak-acak rambutku seperti biasa dan mengecup puncak kepalaku.
Baik-baik di sini katanya. Aku merasa seperti seorang anak yang dititipkan ke penitipan anak ketika orang tua mereka pergi bekerja. Baik-baik di sini. Apa yang dia pikir akan aku lakukan? Menyalakan kembang api dan membakar rumahnya?
Sementara menunggu Luca yang tengah berkaraoke di kamar mandi, aku berkeliling rumahnya. Ga ada yang berubah dari tempat itu. Apartemen dengan dua kamar itu cukup besar buat seorang bujang. Sebelumnya satu kamar dijadikan Luca sebagai tempat dia belajar. Dia belum pernah pindah semenjak masuk kedokteran dulu, dan mungkin dia penghuni terlama di gedung itu. Luca ga pernah punya housemate. Pas ditanya, bilangnya karena emang ingin tinggal sendiri dan lebih bebas kaya gitu. Apalagi dulu buat seorang mahasiswa kedokteran yang notabene sering banget ujian, dia ga mau di ganggu. Setelah lulus Luca mutusin buat kerja dan ambil spesialis di Milan dan untungnya Rumah Sakit tempat dia kerja ga jauh-jauh amat.
Apartemen itu di cat warna beige. Ketika masuk, ada lemari besar dari kayu yang menempel ke dinding tempat menggantung jaket atau coat, cermin besar dan tempat sepatu. Ruang tamu datang setelahnya dengan sofabed berwarna coklat tua dengan TV plasma di hadapannya, rak buku kecil dan beberapa hiasan sederhana juga pemutar piringan hitam modern (dia koleksi vinyl). Dua kamar bersebelahan ada di belakang ruang tamu itu. Luca tidur di kamar yang dekat pintu. dan di sebrang ruang tamu ada dapur yang disekat oleh tembok dan langsung terhubung ke balkoni. Luca termasuk pria minimalis, apartemennya ga didekor macem-macem dan semua berada pada tempatnya. Ini kali keempatku ke sini tapi selalu saja aku ngerasa kalo ini kali yang pertama, ga tau kenapa. Entah karena mau hemat lsitrik atau gimana, tapi biasanya Luca seneng banget gelap-gelapan. Tapi mungkin hari ini jadi sebuah pengecualian.
Aku putuskan untuk memutar salah satu piringan hitam koleksinya. Setelah menimbang-nimbang, aku pilih Chopin & Schumann yang dimainkan Horowitz. Call it melancholy or anything you want, tapi dengan cuaca, nuansa dan suasana seperti ini dengerin musik klasik adalah pilihan yang tepat. Aku menginspeksi masakan yang sudah dipersiapkan Luca sementara permainan piano Vladimir Horowitz mengalun dibelakang.
Ketika aku hendak membuka oven, khawatir ayam yang dipanggang gosong, Luca membuka pintu dan keluar dari kamarnya. Entah bunyi klik oven atau bunyi klik pintu kamar yang dibuka, yang jelas bunyi klik itu seperti tombol ajaib yang dipijat karena setelah bunyi 'klik' itu semua berjalan sangat lambat ibarat seseorang telah mengubah playback speed menjadi 0.5, dan Luca sedang melakukan grand entrance dengan Horowitz memainkan Nocturne Op. 9 No. 2 sebagai backsoundnya.
Pertama-tama, Luca mengintipkan wajahnya dari balik pintu dengan senyum yang membentang dari telinga kanan ke telinga kirinya. Kemudian dia keluar, berjalan dengan sangat lambat. Rambutnya yang setengah basah dan berwarna kecoklatan disisir ke belakang. Matanya yang coklat terang berbinar seperti bintang di malam yang gelap. Anting di daun telinga kirinya bergoyang menari pada alunan piano. Luca mengigit bibir bawahnya dengan sangat natural tanpa berhenti tersenyum. Kemudia dia menjilat bibir atasnya dan melipat bibirnya, kumis tipisnya berbaris dengan rapi dan bibirnya yang merah muda kembali memekarkan senyuman yang menular ke bibirku. Luca mengenakan tuxedo dengan dasi kupu-kupu, dan ketika dia menawarkan telapak tangan kanannya aku hanya bisa bisu.
Tangan kirinya terlingkar di pinggangku sementara tangan kanannya menggenggam tangan kananku. dengan langkah pasti menuntunku berdansa pada musik itu. Ketika Nocturne Op. 9 No. 2 memasuki klimaks, Luca menempelkan bibirnya di daun telinga kiriku.
"Should this become or thing?" Bisikannya dan wangi Bulgary Aqua Marine membuat seluruh bulu ditubuhku berdiri.
"What?"
"This, dancing to Chopin."
"Kenapa ga bilang?"
"Bilang apa?"
"Kalo kamu bakal pake pakean kaya gini, aku yang cuamn pake sweater gini kan jadi salting."
"Ga usah khawatir. You look absolutely beautiful."
Sepertinya telingaku tau ga ada seorangpun yang pernah bilang begitu sama aku, gema suaranya merambat dari gendang telingaku, ke jantungku, mengirim sinyal ke otakku untuk membanjiri tubuhku dengan oksitosin, endorfin dan dopamin dalam jumlah besar. Langkah dansaku terhenti.
"Kenapa? Kamu ga suka aku bilang gitu? Kamu tau kan kalo beautiful itu bukan pretty. Pretty itu buat seseorang ato sesuatu yang keliatan cantik dari luar, kalau beautiful itu bagus luar dal-"
"Aku ngerti ko, its just that nobody ever told me that. Ga pernah ada yang ngeliat aku lebih dari kekuranganku."
"Then, I'll make sure to remind you that you are beautiful everyday."
Luca menempatkan kedua tangannya di pundakku dan menggiringku ke meja makan. Horowitz masih memainkan masterpiecenya. Luca menata makanan satu per satu, mengambilkan makanan untukku dania duduk dihadapanku.
"Were you always this sweet?"
"These are all just sneak peeks. Imagine what I'd do for you when we are really together. Be mine to find out." Dia tersenyum. "Welcome home," katanya lalu meneguk anggur merahnya. Tahun bau masih beberapa jam lagi tapi kembang api di dadaku meledak-ledak.
Aku menatap wajah Luca lekat-lekat. I am home.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kintsukuroi
RomanceEmpat tahun lalu, Gema Bimana ditinggalkan oleh cinta pertamanya. Suatu hari dia mendapatkan sebuah pesan dari orang itu. Tanpa sapaan, tanpa menanyakan kabar, tanpa basa-basi, orang itu datang kembali seperti hujan yang tak sama sekali diramalkan...