CHAPTER 26

314 54 124
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jung Taehyung seolah kehilangan arah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jung Taehyung seolah kehilangan arah.

Bagian serebrum yang menyimpan fragmen ingatan terus memberikan repetisi babak saat Jiya berkata dan bersikap sedemikian buruk dan menyakitkan bagi jihat Taehyung. Tempo lalu, kenya eksentrik itu menuturkan diktum final seolah-olah memang dia tidak sudi lagi untuk mengikat fiksasi dengan Taehyung—bahkan saling menatap juga sepertinya enggan. Makanya, Taehyung dilema sampai membuat adam tersebut tidak punya karsa untuk merengkuh Jiya—untuk sementara waktu tentunya. Namun, entah memang Tuhan memberi rasa iba pada Taehyung atau memang Jiya itu tidak akan pernah lepas dari kelikat munafik. Tahu-tahu, Jiya datang kepadanya.

Sumpah. Jiya itu memang eksentrik dan nyentrik sekali.

“Jiya?”

Taehyung pikir, Jiya tidak sudi untuk menunggu. Adam tersebut mendapatkan panggilan elektronik perihal kedatangan Jiya sekitar delapan jam yang lalu. Tidak memungkinkan bagi Taehyung kembali ke papan lantaran ia punya responsibiliti dengan pekerjaannya. Ia tidak berekspert lebih perkara Jiya yang barangkali akan menunggu. Rupa-rupanya si munafik kirana itu masih setia berada di papannya Taehyung. Ekstraordinari.

Makin hari, adam tersebut memahami hal yang paling esensial soal Jiya. Tidak ada regulasi konkret dalam hidup Jiya. Jiya itu kelewat seenak jidat dalam bersikap dan bertindak. Dulu, Jiya memang seperti itu, namun kali ini lebih parah. Memang tidak bisa dipungkiri, Taehyung tahu kalau pergolakan amarah Jiya sudah abstrak dan absurd sekali. Taehyung paham—tetapi, lelah juga. Makanya, Jiya yang munafik malah lebih munafik; dan Jiya yang kelabu malah makin kelabu.

Jiya nampak beringsut bangun. Ia menyeret kaki secara perlahan menuju Taehyung yang masih asyik terdiam. Jelas, Taehyung terkena turbulensi saraf. Terutama saat perempuan yang tidak punya adab elok itu menabrakan daksanya pada Taehyung, memeluk Taehyung dengan jemala yang terposisikan elok pada torso bedegap Taehyung. Sumpah. Taehyung muak sekali dengan kemunafikan Jiya. Maksudnya kalau memang Jiya berniat memilih Jimin, harusnya Jiya jangan memporak-porandakan Taehyung. Ya, memang itu suatu keuntungan bagi Taehyung lantaran mau Jiya memilih Jimin pun Taehyung masih tetap mau menculik Jiya. Tetapi—gila, Jiya kenapa bisa sebiadab ini, sih?

𝐌ㅡ𝐒𝐢𝐧𝐚𝐭𝐫𝐚 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang