14.

1.5K 119 13
                                    

Seorang supir membuka pintu mobil Tristan Mikail dengan amat hati-hati sambil setengah membungkuk, sang bos keluar dari dalam mobil sambil mengaitkan jas mahalnya. Di depannya sudah ada Ben Hugo atau yang dikenal Ara sebagai Dafi, orang kepercayaan Tristan Mikail yang sudah dianggapnya sebagai adik. Saking percayanya sampai Tristan Mikail menyerahkan putri semata wayangnya pada Ben.

Ben berbeda dengan Dante yang punya banyak catatan buruk, Ben bersih dan sangat setia padanya. Perjodohan itu hanya alibi, yang sebenarnya terjadi adalah Tristan Mikail mempersiapkan diri kalau sewaktu-waktu sesuatu yang buruk terjadi padanya, mengingat reputasinya dan betapa banyak orang yang menunggu kematiannya. Setidaknya kalau mereka menikah,  Ben akan jadi bagian dari keluarganya, orang terdekat yang pasti akan melindungi putrinya sekaligus istri yang sangat dicintainya.

Ben tidak lagi tampil sebagai pria culun dengan kemeja batik serta sepatu pantofel seperti pegawai negeri. Ben hari ini memakai setelan jas hitam yang rapi, jas yang dipesan khusus untuknya, mencetak lengan bisepnya yang kokoh. Dia tampak gagah dengan postur tegap, sedikit menakutkan dengan wajah tanpa senyum serta tatapan mata yang  awas, penuh kehati-hatian dan tampak selalu waspada.

Mereka sekarang ada di sebuah pelabuhan, menuju kapal kecil yang dipenuhi anak buahnya yang berjaga dengan setelan hitam formal serta bersenjata lengkap. Rendra Tjandra ada di sana, di dalam kapal itu. Tristan Menyekapnya, dia menghukum Rendra atas perbuatannya.

Tristan berjalan bersisian dengan Ben. "Almera sepertinya sudah agak nyaman dengan elo?."

Ben mengangguk sopan. "Iya, saya berusaha seluwes mungkin dengan nona. Nona juga menyenangkan, beliau bukan tipe yang susah didekati."

Tristan mengangguk beberapa kali, tampak lega sekaligus senang. "Almera bukannya tidak mau, dia hanya belum siap, semuanya memang terlalu mendadak. Yakinkan dia, dekati dia dengan sabar. Anak gue memang agak kasar dan kadang ketus, tapi sebenarnya hatinya baik."

"Baik, bos. Anda bisa percayakan semuanya kepada saya."

Tristan Mikail mengangguk sedikit. Mereka menaiki kapal. Rendra Ada di sana, duduk di atas kursi dengan seluruh badan terikat serta mulut yang di lakban. Ada darah yang sudah mengering disekitar pelipisnya, di bawah hidungnya sampai dagu, sepertinya tulang hidungnya patah. Dia menggeleng ketakutan beberapa kali sambil memberontak begitu melihat Tristan memasuki kapal. Matanya tidak bisa berbohong, Rendra takut Tristan akan membunuhnya.  

Tristan tersenyum licik. Dia maju kehadapan Rendra sambil mengangkat kedua lengan jasnya bergantian, seperti takut darah milik Rendra mengotori jas mahalnya. Tristan membungkuk di depan Rendra. "Bagaimana? Hmm?." Tanyanya seperti bermain-main dengan anak kecil, menanyakan permainan mana yang lebih seru. "Sepertinya Dante sudah memutuskan, tapi dia tidak memberimu pilihan, ya?." Tristan membuat ekspresi sedih yang di buat-buat. "Hancur perlahan-lahan lalu mati, sepertinya lebih menarik buat Dante ketimbang hancur saja lalu mati." Tristan tersenyum, tampak puas dengan ekspresi ketakutan Rendra.

"Sudah tahukan rasanya, menyenangkan bukan menganggu saya? Lain kali, korupsi uang perusahaan lagi, lebih banyak tidak apa-apa, tapi tahukan hukumannya seperti neraka." Tristan terlihat puas, Rendra masih memberontak. Tristan melihat anak buahnya yang berjaga masing-masing di samping Rendra. "Kalian boleh apakan saja dia tapi jangan sampai mati." Mereka mengangguk bersamaan.

Tristan melihat arlojinya. "Waktunya menjemput putri kesayangan." Senyum lembutnya terbit  membayangkan sang anak tercinta. Anak itu sejak kemarin malam, alias sejak dinner dengan keluarga Ben makin kumat mengomel. Dia tidak terima acara lamaran akan diadakan tiga bulan lagi. Setiap kali melihatnya Ara selalu naik pitam.

Tristan berbalik pergi diikuti Ben. Belum sempat ia menjangkau pintu keluar kapal, suara Rendra dibelakang membuat langkah Tristan terhenti. "Sebelum anda membawa saya kesini, saya sempat mencari tahu  sedikit tentang nona Ara--" Saat itu juga Tristan berbalik dengan marah. Matanya menyorot Rendra tajam. Tapi yang disorot merasa itu bukan ancaman, karena Rendra yakin, Tristan Mikail memang iblis tapi dia bukan pembunuh, Rendra akan di siksa tapi dia tidak akan di bunuh. Pria penyayang keluarga seperti Tristan Mikail tidak akan punya cukup nyali untuk menghabisi nyawa orang.

Daddy KampretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang