Bab Enam Belas-Ucapan yang Tulus

3 2 0
                                    

Aku perlu waktu untuk menyendiri, tapi dari tadi pintu kamarku tidak henti-hentinya diketuk, disusul dengan suara Ardian yang memanggil. Tidak jelas tujuannya apa, Ardian semakin membuat emosiku tidak bisa terkontrol. Aku melemparkan benda yang berada di dekatku ̶ remote AC ̶ ke pintu sampai benda itu hancur berantakan.

Kurang apalagi penderitaanku sekarang, Steven dan Cindy akan menikah, bos ternyata menjagaku ada imbalannya, dan ditambah lagi kedatangan Ardian.

Aku berjingkat ke balkon untuk menghirup udara segar sejenak. Aku duduk di lantai dan menyandarkan kepalaku ke dinding, ketika mendongak mataku disambut oleh gumpalan awan putih berarak-arak yang menutupi langit biru. Saking banyaknya hal yang dipikirkan kepalaku terasa kosong.

Aku tidak tahu harus melakukan apa. Kalau saja aku datang pada Cindy atau Steven dan meminta mereka membatalkan pernikahannya, aku pasti sudah tidak waras. Dan aku yakin Cindy tidak akan melakukannya. Di balik penampilannya yang anggun dan paras cantiknya, sebenarnya Cindy keras kepala dan tidak mau mengalah. Waktu kuliah aku tidak pernah memikirkan bagaimana sifatnya, karena dia sahabatku, aku harus menerima apa adanya. Tapi sekarang aku sadar kalau dia selama ini hanya menutupinya, ditambah lagi penjelasnya kalau dia menyukai Steven diam-diam selama bertahun-tahun di belakangku dan berusaha mendapatkannya.

Aku kembali ke kamar, mengambil paper bag memberian Cindy dan mengambil benda di dalamnya. Gaun berwarna krem tanpa lengan dan panjangnya di atas lulut. Aku pernah mencobanya sekali waktu pulang dari rumah sakit.

Cindy pernah berjanji akan membuatkan aku, Evriana dan Mei gaun dengan warna kesukaannya saat dia menikah nanti dan gaun yang sedang aku pegang inilah janji nyata yang dia ucapkan.

Suara ketukan pintu sudah berhenti, akhirnya Ardian menyerah. Semoga saja tangannya terluka atau patah sekalian, alangkah baiknya karena hal itu dia lebih cepat pulang. Aku tidak mau tinggal satu rumah dengan dia seperti sekarang.

Awalnya saat pulang dari rumah sakit aku meminta Papa mengantarku ke kos, aku mau kembali ke sana. Tapi Papa melarang dan memaksaku tinggal bersamanya dan itu berarti bersama Ardian juga.

Saat itu bos juga ikut mengantarku sampai depan pintu. Mungkin bos sadar aku mengabaikannya. Sejak saat itu aku tidak pernah bertemu dengannya, padahal rumah kami satu kompleks. Agak jauh memang, tapi bisa ditempuh dengan jalan kaki.

Yang menjadi masalah sekarang, datang ke pernikahan Cindy dan Steven dengan siapa? Tadi malam aku menelepon Mei, katanya dia belum tahu bisa datang atau tidak. Jun malas datang katanya atau tergantung mood. Kalau Evriana aku sengaja tidak menghubunginya. Walaupun kami bersahabat, Evriana berada di kubu Cindy.

"Fanya... buka pintunya," teriak Papa sambil mengetuk pintu. Tidak ingin menambah masalah, cepat-cepat aku membuka pintu.

Di samping Papa, bos tersenyum lebar memperlihatkan lesung pipinya dan tangan kanannya yang dijejalkan ke saku celana. Aku hanya sekilas meliriknya, lalu menatap Papa.

"Kamu nggak kasihan sama dia?" Papa menujuk bos dengan dagu. "Dari tadi dia ngetuk pintu dan Ardian teriak-teriak."

Aku menyandarkan kepalaku di daun pintu, pura-pura lemas sambil mengucek mata seakan kebanyakan tidur dan tubuh malah menjadi lelah. Sepertinya aktingku gagal tolal dalam hitungan detik Papa menatapku seakan ingin menerkam.

"Coba lihat," Papa menarik paksa tangan kanan bos, mengangkatnya tepat di depan wajahku. "Kamu buat tangan dia terluka!"

Spontan aku meraih tangan itu dan rasa hangat langsung menjalar keseluruh tubuhku. Rasanya benar-benar aneh, sungguh. Aku mengabaikan tatapan sinis sekaligus bingung dari Papa. Seperti biasa, rasanya aku ingin menghilang saja bagaikan asap sekarang.

Double STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang