"Assalamualaikum,"
"Wa alaikumsalam... Bagaimana kabarmu?"
Keduanya bertukar salam.
"Alhamdulillah baik."
"Alhamdulillah..." balasnya dengan helaan nafas lega.
Lalu saling menanyakan kabar.
Hal yang lumrah sebagai pembuka pembicaraan jarak jauh. Pembuka sambungan telepon antara Amon dan ibunya.
Orang tua Amon bekerja untuk keluarga Akram--- konglomerat sekaligus keluarga terkaya seantero Pangea. Monarki di kontinen Toka. Sebagai peladen, tentu saja mereka harus tinggal berdekatan dengan tuan mereka. Sementara Amon yang meniti karier sebagai penasihat hukum berdomisili di Pravda. Alhasil, ibu dan anak itu terpisah jarak ribuan kilometer.
Amon memang mandiri, tapi bukan berarti ia tidak bisa merindu.
Sudah sejak lama Amon mengajak orang tuanya untuk pensiun, lalu ikut tinggal bersamanya di Pravda. Menikmati masa tua dan membiarkan anaknya menjadi tulang punggung keluarga menggantikan mereka. Tapi pasangan suami-istri itu menolak tanpa ragu.
'Ini bukan soal pekerjaan, bukan soal gaji, tapi soal pengabdian dan hutang budi.'--- adalah jawaban Abi waktu itu.
Jawaban yang sama dan tidak akan pernah berubah walau seiring berjalannya waktu.
Amon paham kalau ia tidak akan bisa mengubah pendirian kedua orang tuanya. Ia paham dan ia mengerti alasannya. Ia harus mengalah. Keluarga Akram sudah terlalu baik pada mereka. Selain itu, secara turun temurun, keluarga Thoth sudah lama mengabdi pada keluarga Akram.
"Kamu pulang, tidak?" tanya ibunya lembut.
Setidaknya setahun sekali, Amon akan pulang--- biasanya setelah bulan puasa untuk merayakan Idul Fitri atau lebaran di Toka--- kontinen tempatnya lahir dan dibesarkan. Selain ramah tamah dengan keluarga besar, dia juga menyambangi tuan sekaligus teman-teman sepermainannya. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, kepulangan Amon adalah salah satu hal yang paling ditunggu oleh wanita paruh baya itu. Tangannya bergetar menunggu jawaban. Sayang, jawaban yang ia harapkan tidak ia dapatkan.
"Tidak, Umi. Sepertinya tahun ini aku tidak bisa pulang untuk berlebaran di Toka. Masih ada banyak pekerjaan yang belum selesai."
"Kamu nggak kangen?"
"... Kangen sama siapa?"
"Tuan Rais, tuan Faysal, dan tuan Shahnaz," dengan suara bergetar, ibunya mencari alasan. Tidak mau memberatkan anaknya dengan mengatakan bahwa sebenarnya dialah yang paling merindukan wajah dan pelukan darah dagingnya.
"... Rais bukannya susah untuk ditemui? Faysal sudah sering ketemu di pengadilan. Kalau Shahnaz... hm... nggak, ah." jawab Amon datar. Pria lempeng itu tidak menangkap kode terselubung dari ibunya.
Ibu Amon menelepon secara rutin. Belakangan itu ia menelepon hampir setiap hari. Mereka hendak melanjutkan percakapan ketika ada telepon lain masuk ke jaringan ibunya. Amon pun terpaksa menunggu. Beberapa menit berselang, suara pip yang nyaring akhirnya terdengar--- tanda ibunya sudah kembali ke jalur teleponnya dengan Amon.
"Maaf, tadi tuan Shahnaz menelepon,"
"Tidak apa-apa, umi."
"Pulanglah... nanti akan aku masakkan makanan favoritmu--- nasi kebuli dan kambing guling."
Amon terdiam. Kedua nama makanan yang disebut itu bukan makanan favoritnya, tapi ia juga tidak berani membantah. Belum sempat ia membalas, wanita itu lanjut membombardirnya dengan pertanyaan dan pernyataan yang membuatnya makin mempertanyakan apakah ia masih berbicara dengan ibunya.
"Kau masih marah?"
Amon memicingkan alisnya. "Marah? Kenapa?"
"Kau marah, lantas tidak mau pulang karena aku memecahkan piring favoritmu minggu lalu."
"Tidak, mi..."
"Jangan dusta. Aku tahu kau ikut dengan tuan Rais karena ingin menghindariku, kan?"
"Ha?" Amon makin bingung. "Umi, aku di Pravda---"
"Ingat, kewajibanmu adalah untuk memberi nafkah lahir dan batin. Hanya karena mereka sudah dewasa, bukan berarti kita tidak boleh merasa muda, kan? Aku tahu ini masih bulan puasa. Tidak, aku tidak bernafsu. Kita bisa melakukannya setelah Idul Fitri. Aku sudah menopause, jadi kau tidak perlu repot memasang alat kontrasepsi karena aku tidak mungkin bisa hamil lagi. Jadi..."
Merasa pembicaraan mereka sudah terlalu jauh melenceng dari konteks awal, Amon pun memberanikan diri untuk memotong.
"Mi, umi... ini Amon."
Sejenak terdengar suara statis. Ibunya membisu.
... BEEEEEEEEEEPPPPPP... ZZZZZZZZZZZZZZ...
Dan seketika itu ibunya menutup telepon.
***
T/N:
[1] Ibu
[2] Ayah
YOU ARE READING
Unlimited Pleads: Random Bullshittery At Work
AlteleDay-to-day randomness of Pangea's attorneys. Centered in Pravnich Law Office of Pravda, meet these badass legal experts as they wipe the floor with their stupidity. Highest #1 on multilingual ======================== P.S. the language might change (...